Tulisan ini adalah bagian 2 dari “Tujuh Belas Anak Dunia Penjejak Benua Kangguru.”
Saya terkesan dengan Jenny. Saat itu, saya bekerja sebagai tutor bahasa Indonesia di Asian Studies, La Trobe University, tempat saya studi mengambil program doktoral saya. Ini adalah pertemuan pertama saya dengan para mahasiswa ini. Ketika saya masuk kelas, saya melihat beberapa wajah yang sudah saya pernah lihat sebelumnya. Rata-rata mereka ini terlibat di kegiatan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia). Tiap-tiap negara, khususnya yang ada mahasiswa Indonesianya pasti memiliki wadah ini.
Agak surprise kemudian saya lihat seseorang dengan wajah berbeda. Saya biasa melihat mahasiswa yang mengambil mata kuliah bahasa Indonesia berasal dari Australia. Memang ada juga yang berbeda kewarganegaraan, seperti si Tina dari India. Namun ia hanya berdarah Asia Selatan, sisanya ia lahir dan besar di negeri kangguru karena orang tuanya sudah menjadi permanent residents (penduduk tetap semacam naturalisasi).
Ya, ada wajah putih bermata sipit. Dan menariknya lagi, ia tidak berusia seperti mahasiswa saya lainnya. Jauh di atas yang lain, yang rata-rata baru lulus SMA. Saya kemudian menyapa. Beberapa dari mereka saya kenal di kegiatan Indonesianist – kegiatan bagi para orang luar Indonesia yang cinta Indonesia. Uniknya, dalam perspektif saya setelah bergelut sekian tahun dengan para Indonesianist ini, saya menemukan bahwa mereka bahkan lebih cinta Indonesia dari sebagian besar orang Indonesia sendiri. Sebagian lagi merupakan mahasiswa semester sebelumnya. Ada Jacinta, Rebecca, Nick, Nik, John, ahh saya lupa lagi nama-namanya ^^
Diantara mahasiswa asing (baca: Australia) ini, ada mahasiswa dari Cina tadi. Ia berusia cukup jauh sebenarnya diatas mahasiswa lain, bahkan saya. Karenanya, saya tertarik bertanya lebih lanjut kenapa ia tertarik belajar bahasa Indonesia. Secara historis dar segi apapun, bahasa Cina dan bahasa Indonesia mungkin dua hal yang jauh dan bisa jadi tak mudah dihubungkan. Bahasa Cina memiliki huruf karakter. Pelafalannya juga tidak ‘semudah’ bahasa Indonesia dimana tulisan dan pengucapan sama. Perlu dicatat, ini bukan tentang sentimen Cina atau anti Cina ya haha… Ini tentang pengalaman saya yang rasanya menarik untuk dituliskan.
Saya dekati dan tanya namanya. Katanya Jenny. Saya yakin ia punya nama ‘asli’. Maksudnya nama berbahasa Cina yang mungkin tidak semua orang bisa lafalkan. Ini memang menarik. Saya pelajari hampir semua kawan atau mahasiswa saya dari Cina melakukan ini. Orang-orang Vietnam juga melakukannya. Alasannya jelas, nama mereka yang asli berbahasa Cina atau Vietnam itu susah diucapkan. Jepang dan Korea menurut saya masih bisa dilafalkan. Kamboja, India, Pakistan, Arab, Turki, Siria, Amerika Latin, masih bisa diucapkan.
Satu mahasiswa saya dari Cina yang belajar bahasa Inggris, bernama Li Feng. Ia ganti menjadi Bruce. Saya sering candai dengan Bruce Lee hehe… Ada lagi yang bernama Zhao, diganti menjadi Jack. Dari Vietnam juga sama. ada yang bernama Tanh Nguyen diganti Tom, dan seterusnya. Secara makna, ini menarik. Bagaimana beberapa kawan dari negara tertentu memilih mengganti namanya untuk kepentingan kemudahan ini. Pragmatis, lebih tepatnya. Untuk memudahkan semua orang. Yang jadi masalah adalah ketika nama versi ‘Inggris’ ini tidak terdaftar di daftar nama atau absen. Saya sebagai guru hafal nama panggilan mereka namun sering lupa nama asli yang tertera di absen. Jadi sering saya beri kurung saja nama asli dengan nama panggilan hahaha…
Kembali lagi ke Jenny. Karena ia sudah cukup berusia, katakanlah sekitar 55an, saya menjadi sedikit memperhatikan keperluannya dalam konteks belajar bahasa Indonesia di kelas saya. Sederhananya, saya harus memperhatikan semua kebutuhan mahasiswa saya, namun dengan situasi ‘khusus’ ini, saya harus memberi perhatian ekstra pada Jenny. Saya yakin, semua orang punya potensi, karakteristik, dan tujuan masing-masing. Oleh karenanya, penting untuk bisa memahami konteks ini untuk tujuan peningkatan kualitas belajar masing-masing mahasiswa saya. Saya tak mengajar Jenny kebetulan di semester lalu. Ia diajar oleh sahabat saya, Adi (alm), seorang instruktur IALF Bali yang saat itu sedang menempuh Master. Adi, yang akan balik ke Indonesia, memberi informasi dan merekomendasikan saya untuk menggantikannya menjadi tutor di Asian Studies di La Trobe University ini. Jenny bahkan menitipkan cindera mata untuk Adi yang saat itu sudah selesai studi dan pulang, namun sayangnya saya belum sempat sampaikan, bahkan ketika ada kabar mengejutkan bahwa ia berpulang karena sakit. Maaf ya Adi 😦
Setelah saya ngobrol dengan Jenny, ia mengaku bahwa ada motivasi khusus ia mengikuti kuliah bahasa Indonesia ini. Ia mengambil kuliah Asian Studies karena ada China Studies didalamnya. Secara latar belakang, ini sepertinya tak jadi masalah. Banyak mahasiswa Australia yang mengambil jurusan Asian Studies dengan konsentrasi Antropologi, Sosiologi dan seterusnya diharapkan (diwajibkan) mengambil mata kuliah tambahan untuk upgrade skills. Ada bahasa Cina atau Indonesia. Ya semacam alternatif atau elektif. Jenny kemudian memutuskan mengambil kuliah bahasa Indonesia.
Saya tentu heran dengan keputusan ini. Mempelajari bahasa lain mungkin tak mudah lagi di usia Jenny. Ada banyak pandangan dalam konteks pemerolehan bahasa kedua (Second Language Acquisition/SLA) mulai dari Chomsky (1965) dengan Language Acqusition Device (LAD), Krashen (1987; 1988; 2013) dengan lima hipotesis SLA, atau Cummins (2000) dengan Common Underlying Proficiency (CUP). Intinya bahwa, untuk belajar bahasa kedua (lain; selain bahasa Ibu), diperlukan semacam ‘alat atau mekanisme’ yang membantu penguasaan bahasa kedua itu. Prosesnya berurutan secara alamiah dengan memperhatikan aspek n+1 (apa yang dikuasai + lebih 1 tingkat dari yang dikuasai) dan seberapa besar ‘filter’ atau saringan diri terhadap masuknya hal baru.
Meski teori dan pandangan itu berlaku dan secara umum diterima, teori motivasi kemudian bisa jadi menjadi faktor lain dalam konteks Jenny. Ia mengatakan bahwa ia memiliki motivasi khusus. Saya coba dalami lebih lanjut. Ia mengatakan bahwa ia ingin memotivasi anaknya yang baru mulai kuliah juga tahun ini. Anaknya yang besar di Australia tentu memiliki pengalaman belajar berbeda karena besar di Negara dengan sistem pendidikan yang lebih baik dari Negara asal Jenny. Namun, itu bukan berarti selalu lebih baik. Anaknya, namanya Xien Ling (dipanggil Ling), tidak memiliki disiplin, menurutnya. Tidak berkeinginan lanjut kuliah pula.
Bisa saya lihat bahwa Jenny belajar bahasa Indonesia ini lebih pada keinginan kuat agar ia menjadi model dan memotivasi orang lain, dalam hal ini Ling, anaknya. Ia termotivasi untuk memotivasi. Dalam teori motivasi, khususnya pembelajaran bahasa kedua atau asing, ini penting. Ortega (2009) menyampaikan bahwa motivasi menentukan aksi dan dalam konteks belajar bahasa lain, motivasi menentukan kemauan kita dan upaya mempertahankannya. Motivasi itu adalah alasan kita melakukan sesuatu dan mencapai tujuan (Dornyei, 1988; Dornyei, MacIntyre dan Henry, 2015).
Hal lain yang bisa saya simpulkan adalah bahwa Jenny adalah tak lain tak bukan merupakan contoh konsep belajar sepanjang hayat. Selama ini saya sering diberi wacana ini. Sering kita tak sadar bahwa sebuah wacana harus direalisasikan. Dalam perjalanan saya, ini saya temukan salah satunya melalui Jenny. Ia mungkin saja kesulitan belajar bahasa dan hal baru dibanding teman-temannya. Ia mungkin saja tidak berhasil sebaik teman-temannya. Ia mungkin saja bahkan tidak bisa menyelesaikan studinya. Namun motivasinya memotivasi anaknya merupakan hal besar. Bagi dirinya, belajar adalah bonus. Menjadi panutan baik bagi orang lain, dalam hal ini Ling, adalah kemuliaan.
@mhsantosa
Circle me @ +Made Hery Santosa
©mhsantosa (2016)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.