De Ngaden Awak Bisa

Mount Batur, Bali
Mount Batur, Bali

Dulu, saya sering sekali mendengar kalimat ini. “De ngaden awak bisa.” Kalimat ini adalah bait pertama dari lagu berbahasa Bali, termasuk pupuh ginada untuk sekar alit, pengantar tidur anak-anak. Artinya kira-kira begini “jangan mengira diri sudah pintar.” Teman-teman saya di Bali sering melanjutkannya dengan bait kedua, “De ngaden awak bisa, depang anake ngadanin,” yang kira-kira berarti “jangan mengira diri sudah pintar, biarlah orang lain yang menilai.” Kalau diartikan lebih luas, makna yang terdapat di bait-bait tersebut – bahwa kita tidak boleh arogan/sombong ketika tahu sesuatu – ini sering digunakan oleh masyarakat Bali khususnya, sebagai acuan mereka dalam berperilaku di kehidupan sehari-hari.

Nilai yang terkandung sebenarnya memiliki pesan yang sangat baik. Selain agar tidak sombong/takabur, kita diharapkan lebih reflektif dan mawas diri. Namun, jika hanya dimaknai sebagian saja, nilai dalam dua bait tersebut, tidak bisa berlaku di semua situasi dan bisa berpengaruh kurang baik. Di pembelajaran di kelas, misalnya, siswa bisa saja menjadi pasif, tidak mau menonjolkan dirinya untuk berpartisipasi aktif dalam aktivitas belajar. Mereka tidak mau dikatakan sombong dan sejenisnya. Demikian juga di konteks pekerjaan. Kata-kata seperti “kapan majunya (orang Bali) kalau selalu mengaku tidak bisa,” atau “ini sebabnya kita selalu kalah dibanding yang lain, karena tidak pernah mau menonjolkan kemampuan yang dimiliki, meski bisa diandalkan.” Sekali lagi, kita tidak bisa melihatnya secara sepotong-sepotong. Lagu ini harus dimaknai secara utuh dari seluruh bait yang ada. Bait lengkapnya adalah sebagai berikut:

De ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luu
Ilang luu buka katah
Yadin ririh liu nu peplajahan

Yang kira-kira artinya (dari berbagai sumber):

Jangan mengira dirimu sudah pintar
Biarlah orang lain yang menilai diri kita/menyebutnya demikian
Ibarat kita menyapu
Sampah akan ada terus menerus
Kalaupun sudah habis, masih banyak debu
Biarpun kamu sudah pintar, masih banyak hal (yang harus dipelajari)

Dalam pandangan saya, lagu ini begitu polos, lugu, apa adanya, namun penuh makna. Oleh dongeng budaya, lagu ini diterjemahkan sebagai berikut:

1. Jangan sombong, mengatakan diri pintar, diri baik, serba tahu dan seterusnya, juga hindari memuji diri sendiri. Orang lainlah yang menilai dan mengatakan bukan diri anda. Dalam hal agama juga sama saja, mengatakan agama sendiri paling bagus, damai dan seterusnya adalah tidak dianjurkan.

2. Belajar ataupun tindakan baik apapun yang kita lakukan harus kontinyu dan terus menerus. Ibarat orang menyapu, tidak cukup hanya dilakukan sekali saja.

3. Tidak ada manusia yang sempurna. Seseorang mungkin pintar dalam ilmu tertentu tapi bisa jadi bodoh dalam ilmu lain. Jadi walau sudah pintar, masih tetap perlu belajar.

Kentara sekali di sini, konsep berpikir dan bertindak orang Bali secara umum. Oleh Bhagawan Dwija, sifat perilaku agar tidak suka menonjolkan kelebihan, dan menjadi sombong sebenarnya berimplikasi pada keyakinan apapun yang dimiliki dan diketahui manusia sangat tidak berarti jika dibandingkan dengan keagungan Tuhan. Saya yakin, ini banyak didasari oleh rasa bakti transendental kepada sang pencipta. Ini bukan berarti saya terlalu mendasarkan diri pada satu keyakinan saja. Saya hanya tertarik betapa hebatnya para orang tua dulu yang mampu mengkomposisi lagu ini. Menurut saya, hal penting yang bisa diambil dari lagu ini adalah “jangan sombong (ketika tahu akan sesuatu); rendah hati, tapi bukan rendah diri; dan selalu belajar (karena akan selalu ada hal baru – di atas langit masih ada langit).” Inti utamanya adalah pada “yadin ririh liu nu peplajahan – masih banyak yang harus dipelajari.”

Sekali lagi penting ditekankan, kita harus bisa menampilkan sisi terbaik kita di konteks yang relevan, namun kita harus tetap rendah hati dan tidak berhenti belajar. Seperti kutipan-kutipan berikut:

“Develop a passion for learning. If you do, you will never cease to grow.” ~ Anthony J. D’Angelo

“When we blindly adopt a religion, a political system, a dogma, we become automatons. We cease to grow.” ~Anais Nin

Karenanya, sangat cocok dipakai pengantar tidur anak-anak kita agar nilai baiknya bisa tertanam sejak dini. Harus diakui, jaman sekarang, rasanya sudah jarang sekali ada orang tua yang meninabobokan putera-puterinya dengan lagu ini. Generasi saya sudah jarang sekali mendengarnya, apalagi generasi di bawah saya. Sekali lagi, penting untuk selalu belajar namun tidak arogan.

Saya yakin, teman-teman punya juga lagu di daerahnya yang sarat nilai yang bisa dipakai sebagai acuan sehari-hari. Semoga tulisan ini bermanfaat 🙂

©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.

7 thoughts on “De Ngaden Awak Bisa

  1. Gusti putu says:

    Halo kak saya dapet tugas
    Disuruh mencari.
    Alur pupuh ginada eda ngaden awak bise
    Tokohnya juga,, ini tokohnya belum saya temukan

    1. Made Hery Santosa says:

      Silahkan saja, asal diikuti aturan penulisan mengutip saja ya 😊. Terima kasih sdh mengutip, semoga membantu kelancaran tesis 👍

Leave a comment