Saya sedang asyik membaca dari ebook reader ketika ada kejadian menarik di depan mata saya. Membaca dari ebook adalah kegiatan wajib bagi saya beberapa tahun belakangan ini. Saya berusaha sempatkan diri membaca di angkutan publik ketika dalam perjalanan ke kampus atau ke kota atau ke daerah-daerah lain yang jauh. Rasanya menyenangkan, tidak bosan sekaligus menambah wawasan. Bacaan saya termasuk apa saja, misal tulisan-tulisan akademik, jurnal, buku di bidang keilmuan yang relevan; wawasan secara umum (Darwin, Hawking, Einstein, Habibie); fiksi dan sastra (Gibran, Rumi, Paulo Coelho, Shakespeare, Tolkien, Rowling, Soenaryono Basuki, Jane Austen, Ernest Hemingway, Edgar Allan Poe, Chairil Anwar, Motinggo Busye, NH Dini, Agatha Christie, Nesbit, Arthur Conan Doyle, Rudyard Kipling, Jules Verne, Alexander Dumas, Mark Twain, Bram Stoker, Charles Dickens, dll); dan bacaan apapun yang menarik. Sengaja saya membaca dari ebook bukan dari tablet karena alasan yang menurut saya sederhana. Saya hanya ingin membaca saja tanpa tergoda hal-hal lain yang bisa ditawarkan oleh sebuah piranti tablet. Saya percaya, dengan membaca kita membuka wawasan dan ingin menulis.
Hari itu saya hendak bekerja dan saya mengambil train jurusan kota. Perjalanan dari rumah saya ke kota hanya 30 menit tapi sayang kalau dilewatkan dengan bengong-bengong saja. Saya ingat Manik bilang versi dari 9gag kalau sering orang kelihatan seperti ‘a great philosophical thinker’ ketika berada dalam bis, tram atau train :). Kenapa? Karena ia bengong, tangan di dagu (atau tidak) dan tatapan mata kosong menatap jendela. Seperti patung perunggu ‘The Thinker’ pahatan mahakarya dari Rodin (lebih lanjut baca disini). Ketika sedang asyik membaca dan mendengarkan music dari iPod saya, seseorang masuk ke train dari sebuah stasiun beberapa stop dari tempat saya naik. Ia laki-laki tinggi besar, memakai jumper coklat dan kupluk hitam. Ia menenteng tas plastik. Ia duduk sekitar 3 baris kursi di depan saya. Train kemudian berjalan lagi. Saya berguman dalam hati, semoga train ini berjalan cepat. Memang, angkutan publik, khususnya train umumnya selalu tepat waktu. Tapi kemarin saya harus terlambat sekitar 30 menit karena ada kejadian dimana salah seorang penumpang harus dirawat ambulans dan itu menyebabkan seluruh train mengalami hambatan. Untungnya sistem transportasi sudah canggih sehingga semua bisa diatasi sesegera mungkin dengan rapi.
Tiba-tiba saja, lelaki yang saya sebutkan tadi mulai meracau; bicaranya kacau. Mulai dengan suara pelan kemudian keras-keras. Mulai kata-kata kasar juga kotor. Kami semua yang ada didekatnya mungkin sudah biasa dengan fenomena ini. Jelas, ini orang mabuk. Tapi aneh memang, hari masih pagi dan sudah ada orang semabuk ini. Biasanya malam, menjelang dini hari. Meski dendanya sangat besar hingga ribuan dolar, masih saja ada orang-orang seperti ini. Lelaki ini mulai ‘menantang’ setiap orang yang melihat dia. Sumpah serapah kembali keluar dari mulutnya. Seorang perempuan, mungkin sekitar 60 – 65 tahun menimpali.
“Yeah you shouldn’t smoke on the train as well,” katanya ketika lelaki itu menantang si nenek yang melihatnya. Ya, laki-laki ini juga merokok di dalam train, yang memperbesar kansnya membayar denda lebih banyak.
Jujur saja, tidak banyak orang yang berani atau mau meladeni hal ini. Banyak yang cuek saja atau tidak berani melihat langsung pemabuk ini. Sayapun, dengan sedikit malu saya katakan ini, memilih tenggelam dengan bacaan saya, meski saya tidak bisa berkonsentrasi penuh. Lelaki pemabuk ini terus meracau, ngalor ngidul sambil memandang tajam setiap orang yang melihatnya. Kata-kata kasar dan kotor yang tidak pantas saya tuliskan disini menyembur terus dari mulutnya. Saya yakin, kalau saya didekatnya, bau alkohol akan jelas bisa saya rasakan. Di negara multikultur yang menganut paham bebas namun taat hukum seperti di Australia dan negara maju lainnya, seseorang bisa bebas melakukan apa yang ia mau dengan segala konsekuensinya. Tidak perlu sampai dilarang-larang orang lain untuk tidak begini dan begitu. Artinya, itu adalah ekspresi bebas dari seorang individu yang tahu apa yang ia lakukan dan siap menerima konsekuensi apapun dari segala tindakannya. Tapi ketika itu sudah mulai mengganggu ketentraman umum, itu lain lagi.
Nenek ini kemudian mengambil HP dan terdengar suaranya menelpon polisi. Sistemnya memang sangat mudah, cukup menekan nomor ‘000’ kita akan langsung tersambung dengan tiga sambungan penting, Polisi, Pemadam Kebakaran dan Ambulans, dan gratis. Saya mendengar si nenek menceritakan concern-nya terhadap perilaku dan kata-kata si pemabuk. Lelaki pemabuk ini sepertinya tahu, tapi si nenek tetap melanjutkan laporannya. Si pemabuk sempat menantang kembali,
“Yea, call the f___ cops. Let them here. You old b___!” semburnya lagi.
Tiba-tiba, ketika si nenek masih menelpon petugas, pemabuk ini pindah dengan tergesa duduk di depan si nenek! Tepat di samping kanan saya. Secara naluriah, saya meningkatkan kewaspadaan diri, baik bagi diri saya maupun si nenek – yang sekarang cuma duduk berdua saja, berhadapan dengan pemabuk.
Si nenek tetap melanjutkan laporannya, diselingi teriakan-teriakan ngawur si pemabuk. Yang saya kagumi, nenek tersebut tidak menunjukkan sedikitpun rasa gentar. Memang, masih ada banyak orang lain, termasuk kamera CCTV. Yang pasti, kalau sampai terjadi, saya yakin banyak orang akan membantu. Namun, tetap saja, rasanya berhadapan dengan orang yang sedang tidak ‘straight’ akan beresiko.
Si pemabuk tetap meracau. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas plastik yang ia bawa. Sebuah kotak, di bagian bawah, ada semacam keran. Rupanya minuman. Dari warnanya, saya tahu itu sejenis whisky. Cuma, saya tidak kenal merknya. Tiba-tiba, seorang gadis datang dari belakang dan duduk di samping nenek. Ia rupanya ingin membantu mendampingi si nenek yang sudah kelihatan sedikit terancam. Sekali lagi, saya kagum dengan dua perempuan ini. Sekali lagi, saya merasa kerdil. Memang, saya punya alasan. Sebagai mahasiswa internasional, saya cenderung masih menghindari sesuatu yang bisa berimbas pada keberlangsungan saya tinggal disini. Tapi rasanya, ketika saya berefleksi, tindakan saya mungkin kurang tepat saat itu.
Gadis muda ini berusaha menenangkan si nenek, dengan kata-kata seperti ‘brave’, ‘it’s alright’ dll. Si lelaki mabuk seperti melunak (atau gentar?). Sedikit kesadaran, mungkin menghampirinya bahwa ia sedang masuk laporan polisi. Tapi, ia kemudian berjalan menantang orang lain. Seorang lelaki lain di bagian belakang. Lelaki ini, cukup santai. Ketika ia ditanya kenapa melihatnya terus, ia hanya menjawab sederhana,
“I’m just tired, man,” sambil tersenyum. Jika ditelaah lebih jauh, bagaimana si pemabuk hanya bisa mencari orang lain yang masih bisa dia tantang, bisa kita simpulkan bagaimana nyalinya.
Saya kemudian hanya mendengar si nenek dan gadis muda sayup-sayup. Si nenek kembali menerima telpon dan dari percakapannya, petugas tampaknya bertanya lebih lanjut; namanya, alamatnya sudah sampai stasiun mana, dan hal-hal relevan lainnya. Sampai saya turun, memang tidak ada petugas yang datang, tapi saya yakin, setidaknya 90%, kalau kasus ini akan serius ditindaklanjuti. Rekaman CCTV cukup jelas dan sistem teknologi yang canggih akan sangat membantu. Saya kagum dengan gadis muda yang maju menemani si nenek. Saya kagum dengan si nenek yang pemberani – satu-satunya yang mengambil tindakan ini di satu gerbong yang banyak penumpang. Saya yakin, hatinya terusik, tergerak dengan situasi yang tak pantas, dari segi moral maupun hukum. Saya salut. Ketika benar, kita seharusnya tak gentar menyikapinya. Saya, kita dan semua orang harus mencontohnya.
Image: Disini dengan sedikit editan.
©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.
One thought on “Nenek Pemberani”