Siti, TKI yang Beruntung

http://www.itravelindonesia.com/smile-magazine.aspx
http://www.itravelindonesia.com/smile-magazine.aspx

Mbak Siti, begitu saya memanggilnya, adalah seorang perempuan yang penuh semangat. Saya bertemu dengannya di awal tahun ini di sebuah tram stop di dekat pasar yang berjarak sekitar lima menit dari rumah saya. Ia sedang berjalan beriringan dengan Manik, istri saya, bersama-sama pulang kerja dari sebuah restoran Italia halal di dekat rumah. Ia tersenyum, mendapati saya sedang menunggu mereka di ujung lampu merah di seberang jalan. Sebelumnya, Manik sudah bercerita via sms kalau ia bertemu dengan kawan baru yang ternyata berasal dari Indonesia. Ketika kita sedang merantau, tentu hal ini menggembirakan, dilihat dari sudut pandang keinginan bernostalgia akan Indonesia.

Ketika mereka sudah sampai di tempat saya berdiri, saya langsung mengulurkan tangan menyapanya.

“Halo,” sapa saya sambil tersenyum. “Apa kabar?”

Selain ‘please’, ‘thank you’ dan ‘sorry’, setiap bertemu dengan orang, sapaan ‘halo’ dan ‘apa kabar’ seaakan sudah otomatis keluar dari mulut saya. Saya pelajari dari lingkungan sekitar. Rasanya, ramah.

“Eh, halo, baik,” sahutnya.

“Iya,” saya tersenyum.

Percakapan itu adalah awal kami berkenalan. Saya melihat ia murah senyum dan energik. Dari pertemuan kami, banyak hal menarik kami bagi. Salah satunya adalah pengalaman hidupnya.

Mbak Siti memulai ‘perjalanan’ hidupnya sebagai seorang TKI yang bekerja di Mesir ketika berumur masih cukup muda, 22 tahun. Konsekuensinya, ia harus berpisah dari keluarganya di Indonesia. Ia harus berpisah dengan anaknya yang masih bayi. Ini pasti tidak mudah. Namun, seperti cerita-cerita TKI lainnya, hal ini terjadi di sebuah negara luas yang kaya sumber daya alam namun masih ‘miskin’ sumber daya manusia, seperti Indonesia. Saya teringat cerita sahabat saya dari Arab Saudi yang mengatakan banyak sekali orang Indonesia di negaranya yang menjadi pembantu. Ia bahkan pernah punya satu orang pembantu dari Indonesia sebelumnya. Meski banyak kasus di tempat lain, pembantu yang ia punya sangat baik. Masakannya enak sekali. Karenanya, ia suka sekali setiap saya ajak pergi makan ke restoran Indonesia yang banyak tersebar di Melbourne.

Dengan pengalaman yang seadanya dan bekal secukupnya, Mbak Siti berangkat melalui sebuah agen TKI di desanya, menuju Mesir. Di sana, ia menjadi pembantu sebuah keluarga diplomat. Ia lambat laun menjadi fasih berbahasa Arab karena lingkungannya. Setelah sekitar 3 tahun, ia diajak oleh keluarga tuannya yang pindah ke Melbourne, Australia dalam rangka tugas diplomatnya. Ia yang masih senang bekerja dengan keluarga ini memutuskan untuk ikut saja. Kendala bahasa Inggris tidak terlalu ia pikirkan karena ia merasa akan jarang kontak dengan situasi selain bahasa Arab. Memang, ketika berkomunikasi awal-awal dengan Mbak Siti, saya merasa bahasa Indonesianya sudah agak kaku sedikit. Wajar saja, karena ia sudah beberapa tahun ini tidak pernah berkomunikasi dengan orang Indonesia. Karenanya, ia sangat bahagia ketika bertemu Manik dan saya. Kerinduan akan kampung halaman bisa sedikit terobati. Meski kami berasal dari daerah yang berbeda, ketika berada di perantauan, kami merasa saudara.

Ketika keluarga tuannya pindah lagi dari Melbourne, ia ditawarkan apakah akan ikut atau tidak. Kali ini, ia memutuskan untuk tidak ikut. Ia telah bertemu dengan seseorang asal Mesir juga yang bekerja di konsulat Mesir seperti tuannya, kini sudah pensiun. Mbak Siti memutuskan untuk melanjutkan hidup, menikah dengan orang tersebut. Meski suaminya orang yang cukup berbeda jauh dari segi usia, namun saya melihat kematangan dan pengalaman yang bisa ia berikan kepada Mbak Siti. Hidup ini in the end untuk kebahagiaan, kan. Saya melihat Mbak Siti cukup bahagia dengan keputusan ini.

Ia dan suaminya kemudian tinggal di sebuah flat. Sesekali, suaminya bekerja sambilan menjadi sopir taxi. Mbak Siti yang bekerja penuh, menjadi kitchen hand di restoran Italia yang saya sebutkan tadi. Ia juga tetap berkomunikasi dengan keluarga dan anaknya yang beranjak besar. Untuk meningkatkan dirinya, ia mengambil kursus bahasa Inggris yang diberikan gratis oleh city council kepada penduduk (tetap) negara Australia. Saya sering sekali bertemu dengannya di tram ketika saya hendak menuju kampus dimana ia juga akan berangkat kursus bahasa Inggris. Beruntung sekali memang, ia tinggal di negara yang cukup memperhatikan aspek kesejahteraan penduduknya dengan cukup adil. Peningkatan kapasitas individu baik dari segi finansial dan ketrampilan diberikan secara memadai. Saat ini, kami sudah jarang bertemu. Ketika sering bertemu, Mbak Siti suka berlatih bahasa Inggris dengan kami juga. Saya melihat, kemampuannya lumayan maju. Dan ini akan sangat penting baginya di masa depan menemani kisahnya sebagai manusia bebas di negeri orang.

Saya tergerak menuliskan cerita ini. Kita ketahui bersama, ada banyak sekali masalah TKI dan TKW kita di luar negeri. Ada yang dianiaya, dihukum pancung, dll. Terlepas dari kontroversi benar tidaknya, cerita Mbak Siti ini saya harap bisa memberi setetes embun sejuk bagi isu TKI dan TKW Indonesia. Meski kisah-kisah seperti ini hanya dialami oleh segelintir orang saja (baca juga kisah lainnya, seperti kisah Lina Marlina dan Warisan), saya harap tulisan ini mampu menginspirasi yang lain untuk lebih semangat, tidak pernah lelah dan yang paling penting terus berusaha meningkatkan kapasitas dirinya agar bisa lebih baik.

©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.

2 thoughts on “Siti, TKI yang Beruntung

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s