Menarik melihat bagaimana saya lihat orang secara umum tak terbiasa ber-email ria. Padahal mereka mengakui memiliki email dan saya lihat HP mereka rata-rata cukup canggih. Ada yang bawa Samsung terbaru, ada iPhone, ada yang lain dengan OS terbaru. Dan saat ini, rata-rata sudah memiliki akses internet tak terbatas. Entah via wifi atau paket internet dari simcard masing-masing. Ketika ditelurusi, beberapa alasan mengapa mereka tak bi(a)sa email adalah sebagai berikut.
Email untuk Buat Facebook (dan socmed lainnya)
Menarik bahwa banyak yang (baru) membuat email hanya untuk bisa buat Facebook (atau Twitter, Path dan socmed lainnya). Sehingga otomatis email tersebut tak akan pernah digunakan untuk kepentingan lainnya. Semua sudah bisa diakses via FB dan socmed lainnya karena notifikasi akan masuk ke socmed itu langsung. Meski notifikasi masuk ke email, toh mereka sudah membacanya di socmed tersebut. Belum lagi alamat email yang masih menggunakan kata-kata seperti came, cakep, bagus (ganteng) atau jegeg (cantik). Ah, saya tak mau mengulasnya. Ini masalah pilihan.
Biasa Bercakap-cakap Lisan
Budaya Indonesia dan Asia secara umum adalah oral atau lisan. Sehingga kegiatan bercakap-cakap lisan itu dianggap jauh lebih penting dan utama daripada membaca, misalnya. Inilah salah satu, menurut saya, acara gosip sangat laris di TV Indonesia, bahkan dari pagi sampai malam. Seperti diketahui, konten gosip berisi hal-hal yang bersumber dari satu dua orang dan dibumbui pendapat orang lain tanpa bisa dicek keabsahannya. Memang secara konteks, gosip tak bisa dibandingkan dengan riset yang berbasis bukti atau fakta, namun acara gosip yang secara marathon bisa membuat orang cenderung lebih percaya konten berita itu daripada keasliannya.
Kebiasaan ini bisa dengan jelas terlihat dari cepatnya mereka chatting. Dulu (sekarang masih ada yang menggunakannya), SMS merupakan pilihan utama. Sekarang banyak yang sudah menggunakan teknologi, entah via Whatsapp, Line, BBM, KakaoTalk, BeeTalk, Path, FB, Twitter dan lainnya. Kalau mereka tahu Viber atau Tango, atau Snapchat, mungkin mereka akan mencobanya juga. Ada dagang ayam memakai motor yang bisa asyik memencet-mencet HPnya ketika sedang berjalan dengan motornya. Sangat hebat! Atau yang ngomong keras-keras menempelkan HPnya di sela-sela helm. Saya yang sedang berpapasan sempat kaget. Saya pikir sedang kenapa.
Tak Punya Network
Alasan lain kenapa tak biasa ber-email ria adalah karena tak punya jejaring yang juga menggunakan email dalam percakapannya. Namun bagi orang-orang yang sudah memiliki pekerjaan dan network, hal ini tentu tak berlaku. Bagi keduanya, cara yang biasa dipilih adalah dengan platform chatting tadi. Ada yang berargumen bahwa ini lebih cepat, lebih rileks dan seterusnya. Lagi-lagi, ini masalah pilihan.
Dan banyak lagi alasan lainnya.
Menuju Profesionalisme
Email di belahan bumi lain sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan profesional, email sering dijadikan pilihan karena bisa dilakukan kapan saja. Apalagi dengan adanya internet di HP masing-masing, akses terhadap internet dan email tentu sudah bukan masalah lagi. Istilahnya, you’ve got the power in your hand. Email dipilih karena bisa lampiran bisa langsung disampaikan. Email dipilih karena alasan profesionalisme. Bahasa profesionalisme tentu beda dengan ketika chatting. Semua akan tak terikat hal-hal personal. Dalam konteks profesionalisme, hendaknya cara-cara profesional juga yang digunakan.
Pindah dari Zona Nyaman itu Tak Mudah
Sering saya amati, banyak yang beralasan bahwa aktivitas ber-email itu susah. Sama susahnya ketika bicara mengajak mengubah sesuatu yang sama-sama sudah tak dirasakan nyaman lagi. Ketika saya tanya, apa susahnya mereka bilang alasan-alasan tadi. Namun alasan yang saya lihat sebenarnya adalah menuju profesional itu memerlukan niat, kemauan dan usaha pindah dari zona nyaman. Dan pindah ini susah. Entah susahnya dimana. Padahal, you’ve got the power in your hand tadi. Sering saya sampaikan, di jaman sekarang ini, segala hal ada, tinggal google, semua yang relevan muncul. Semua gampang. Apa lagi alasannya. Memang, pindah dari zona nyaman tak mudah. Contohnya, kebiasaan email ini. Sayang sekali memang, smartphone yang katanya smart itu tidak digunakan semaksimal mungkin, cuma untuk socmed saja.
Circle me @ +Made Hery Santosa
©mhsantosa (2014)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.
Heheheehehehe…jadi bingung bacanya
Hai Patrik,
Dimana bingungnya? Bisa jadi saya perlu masukan, atau Patrik perlu baca ulang. Yukk diskusikan 🙂
Email sy sdh otomatis masuk notifnya di gadget..cumaaa…sy sengaja ngga ngebukanya klo sdh di rumah. Pasti urusan kerjaan. Pdhl habis jam kerja sy usahakan sdh move on ke keluarga 🙂
Nah yg ini smart yg lain yg pantes dicontoh Mb Indri. Sepakat 👍✨😊
yang saya perhatikan, twitter adalah sumber informasi yang bagus, cuma sayang teman-teman saya malas mengakses twitter. mereka masih terpusat di facebook, etc.
Trims Gus sdh membaca dan berbagi pendapat. Sy pikir itu antara pilihan atau ketidaktahuan. Budaya kolektivisme sangat berperan di Asia, termasuk Indo yg berpengaruh pada kehidupan sehari-harinya 🙂
Reblogged this on Translation: My Passion and Profession and commented:
Ini benar, fenomena menarik yang juga saya lihat sehari-hari. Menenteng gawai terbaru, tercanggih hanya untuk telepon dan mengakses socmed. Agak mubazir, menurut saya ;).
Thanks Ce Desi. True dat 😀