Sudah lama rasanya tidak menulis dalam bentuk narasi, kebanyakan tulisanku memang kutuangkan dalam bentuk puisi hehe… Draf tulisan ini sudah beberapa waktu adanya, baru kali ini dituangkan hehe…
Kali ini, aku ingin bercerita mengenai sisi lain dari Myki yang mungkin bagi sebagian orang biasa saja. Semoga memberi perspektif lain.
Myki adalah kartu elektronik yang berfungsi sebagai tiket perjalanan untuk alat transportasi publik. Myki ini diterapkan baru sekitar akhir tahun 2009 lalu oleh pemerintah Australia, menggantikan Metcard, sistem tiket sebelumnya. Seperti Myki, Metcard bisa digunakan integrated untuk bis, tram, dan train. Sangat memudahkan. Harganya pun bervariasi, sesuai dengan jenis Metcard yang diinginkan, apakah per dua jam, per hari, per bulan, atau per tahun, tergantung pada zona, apakah zona 1, atau zona 2.

Untuk menggunakannya, seseorang harus memvalidasi kartu tersebut dengan memasukkan ke mesin yang ada di setiap angkutan publik, di bis, tram, atau (stasiun) kereta. Lebih jelas mengenai Metcard bisa dibaca di tautan ini.

Kadang, gambar Metcard bisa disesuaikan dengan momen-momen tertentu yang sedang berlangsung.



Cukup lama aku menggunakan Metcard, dan ketika pemerintah mengenalkan Myki, aku belum juga mencoba sampai dua bulan lalu, aku memutuskan mencobanya, dengan harapan agar semuanya lebih praktis dan manageable. Untuk memiliki Myki, aku harus mendaftar ke laman Myki dan memesan Myki yang diinginkan. Kemudian, Myki tersebut akan dikirimkan ke alamatku. Cukup praktis.

Aku bisa memilih langsung mengisi ‘uang’ dalam kartu tersebut, agar bisa digunakan. Jika ingin mengisi kembali, aku bisa mengisi secara daring (online) atau mengisi di stasiun kereta yang selalu ada di setiap rata-rata 500 meter sepanjang jalur kereta api.

Myki, seperti halnya Metcard yang berlangganan (entah per bulan, per tahun, dan sistem lainnya), memang memberi kepraktisan. Seseorang cukup membeli sekali dalam suatu periode, kemudian menggunakannya sampai selesai. Namun bedanya, kartu Myki yang kita miliki, tetap bisa digunakan sampai 5 tahun dan bisa diperpanjang. Kartu tersebut menjadi semacam kartu personal, bukan lagi kartu yang bisa dibuang setelah selesai digunakan (Catatan: ada berbagai jenis pilihan kartu juga, lebih jelasnya, bisa di baca di tautan Myki).
Meski sama-sama harus melakukan validasi, berbeda dengan Metcard, sistem validasi Myki menggunakan sistem touch on, touch off. Jadi, ketika akan naik ke angkutan, seseorang harus menyentuhkan kartu Mykinya ke mesin yang ada, dan menyentuhkan kembali ketika turun. Untuk mendapatkan harga yang lebih murah, hanya ketika naik tram, pengguna dianjurkan untuk hanya touch on, tidak touch off. Uang akan otomatis di tarik ketika ia touch on waktu berikutnya. Hal ini mungkin karena jarak tempuh seseorang naik tram yang tidak panjang dan lama, jadi untuk memudahkan, hanya sistem touch on yang dianjurkan. Dan memang, terbukti, ketika aku touch on, misal esoknya, aku hanya dihitung menggunakan tram dengan harga selama 2 jam saja, bukan 24 jam (Sebagai perbandingan, harga Metcard untuk dua jam adalah $ 3.80, sedangkan untuk Myki ‘hanya’ $ 3.02).

Namun, sebagaimana hal lainnya, Myki tidak lepas dari kritik dan masalah. Mulai dari warga yang merasa ‘dipaksa’ untuk mengganti ‘rasa nyaman’ mereka (karena mereka harus belajar hal baru lagi, meski hanya awal saja), masalah dengan sistem infrastruktur (di stasiun, di angkutan), atau masalah inspeksi oleh petugas.
Banyak warga yang merasa hak-haknya tidak diperlakukan dengan adil karena ‘dipaksa’ melakukan sesuatu yang mereka tidak mau, seperti dimuat di harian The Age ini. Karena sudah nyaman dengan sistem Metcard, mereka merasa sulit untuk merubah perilaku dan kebiasaan untuk mengikuti ‘hal baru’ yang ditawarkan Myki. Aku sendiri juga merasakan hal yang sama. Karena harus belajar banyak hal baru lagi. Namun, proses ini merupakan proses baik, artinya berusaha keluar dari zona nyaman untuk mencapai ekuilibrium itu merupakan proses yang harus dilalui. Masalah pemerataan hak juga disuarakan oleh mereka-mereka yang disabled karena mesin kadang dipasang terlalu tinggi dari yang mereka bisa jangkau.

Masalah lain, juga datang dari infrastruktur yang belum stabil. Selain proses memasang mesin-mesin di setiap stasiun dan setiap angkutan yang jumlahnya puluhan ribu, mesin-mesin tersebut kadang tidak berfungsi. Entah karena vandalisme atau memang sedang tidak berfungsi.



Hal lain yang juga banyak orang kritisi adalah mudahnya mereka yang memiliki Myki untuk evade dari inspeksi petugas. Petugas cukup sering melakukan inspeksi bagi mereka yang tidak memiliki tiket sah untuk naik angkutan. Dan jika tertangkap tangan, dendanya lumayan buat menangis :). Jumlahnya bervariasi, dari $ 100 atau $200 – $ ribuan (jika membawa minuman keras atau senjata ketika dalam angkutan). Bagi pengguna Metcard, petugas lebih mudah memeriksanya, karena tercetak jelas di bagian belakang Metcard, apakah sudah memvalidasi atau belum.

Namun bagi, pengguna Myki, petugas tampaknya belum bisa mencari tahu apakah kartu Myki pengguna sudah divalidasi atau belum. Aku belum yakin benar, tapi belakangan ini, petugas sudah dilengkapi dengan alat yang mereka bawa, dimana kartu Myki bisa dimasukkan ke mesin tersebut dan di cek apakah sudah tervalidasi atau belum. Namun, meski petugas sudah dilengkapi oleh alat pengecek Myki, masalah lain tetap muncul, misalnya ketahanan batere mesin itu. Namun, dipastikan, pemerintah terus melakukan perbaikan-perbaikan untuk kenyamanan warganya.

Aku sendiri merasa nyaman sekarang dengan Myki, karena aku tidak perlu lagi membeli tiap akan bepergian dengan angkutan umum. Lebih praktis, hemat, dan personal.

Ngomong-ngomong, Myki ini harus diisi dulu sekarang, kreditnya sudah menipis 😀
Catatan: Gambar-gambar diambil dari pencarian di Google dan koleksi pribadi