Selama ini, saya sering sekali mendapat pertanyaan baik dari kawan-kawan atau adik-adik mengenai berbagai peluang mendapatkan beasiswa. Mulai beasiswa ke negara Australia, Amerika, Inggris, Belanda (dan Eropa lainnya), atau ASEAN. Tentu saya membalas dengan senang hati. Saya bantu sebisanya, memberi pengalaman dan berbagi cara untuk bisa memperkuat lamaran beasiswa. Saya sangat mendukung siapa saja yang ingin maju, belajar dari perspektif lain dan melengkapi dirinya tanpa memandang latar belakang siapa dan dari mana. Bagi saya, semua orang berhak dan bisa mendapatkan kesempatan belajar ke negara luar sepanjang mereka mau berusaha, tekun dan persisten.
Tulisan ini hanyalah salah satu dari sekian banyak tulisan mengenai beasiswa. Katakanlah kawan saya Mas Tony Dwi Susanto yang konsisten di Motivasi Beasiswa atau sahabat saya Bli Andi Arsana yang mendedikasikan diri di beasiswa AAS (dulu ADS). Dari sekian banyak tulisan tersebut, kali ini, saya ingin berbagi tentang pengalaman saya sendiri mendapatkan beasiswa untuk riset yang saya terima di La Trobe University. Beasiswa ini disebut dengan International Postgraduate Research Student (IPRS). Sesuai namanya, beasiswa ini ditujukan bagi calon peneliti untuk belajar di tingkat doktoral. Diberikan setiap tahun, beasiswa ini sangatlah kompetitif karena syarat yang tidak mudah dan jumlah penerima terbatas. Jadi sangat prestisius.
Proses Beasiswa Riset di LTU
Secara sederhana, proses melamar beasiswa riset ini bisa dijabarkan dalam bagan sederhana seperti dibawah ini.
Berikut, saya sisipkan pengalaman dan refleksi saya pribadi ketika melakukan proses tak kenal lelah ini.
Dari Diri Sendiri
Sebelum memulai perjuangan mencari beasiswa, saya ingin menekankan satu langkah awal proses ini. Keinginan harus dari diri sendiri. Pejuang beasiswa harus memang benar-benar ingin mendapatkan kesempatan ini. Pejuang harus rajin mencari informasi. Hal ini bisa dilakukan dengan rajin browsing atau subscribe ke sumber-sumber beasiswa. Di jaman digital seperti ini, informasi sangatlah banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya. Banyak sekali ada penyedia informasi beasiswa, termasuk tips dan strategi mendapatkan beasiswa. Jadi tidak perlu lagi menunggu giliran atau jatah, apalagi berdasar hirarki senioritas, lama bekerja (mengajar) dan seterusnya. Siapa yang pantas, ia yang bisa dapat. Ini adil.
Yang diperlukan sekarang adalah kemauan. Saya masih ingat saat saya harus beberapa kali mencoba melamar beasiswa ke banyak tempat di berbagai negara. Beberapa bahkan gagal! Namun saya tak patah semangat. Saya terus dan terus mengajukan lamaran sambil belajar dari lamaran sebelumnya. Apalagi jika lingkungan sekitar kurang memberi motivasi, usaha ini harus datang dari diri sendiri.
Contoh menarik adalah sebagai berikut. Saya sering tak henti membagikan informasi dan mendorong kawan-kawan untuk mencoba melamar beasiswa, beberapa diantaranya memberi berbagai alasan. Mulai dari kesibukan, susah ijin atasan atau malah tidak adanya ijin dari atasan (bagi yang bekerja di suatu lembaga). Tak habis pikir memang, alasan atasan tak memberi ijin ini lucu menurut saya. Jika tepat masih bisa diterima. Namun jika dibuat-buat apalagi yang sifatnya exercising power. Nah, kalau sudah begini, tak ada cara lain kecuali mencari sendiri. Yang lebih menarik lagi bagi saya adalah ungkapan “kapan-kapan saja.” Memang, saya paham tiap orang memiliki prioritas masing-masing. Namun dalam konteks berjuang mencari beasiswa, ungkapan ini rasanya kurang tepat. Seorang pejuang harus memiliki karakter tak pernah menyerah dan problem solver.
Keputusan Penting
Saya sedang menjalani rangkaian tes melamar beasiswa Presidential Fulbright dan DIKTI gelombang ke II saat itu ketika salah seorang mantan dosen saya membawakan formulir aplikasi beasiswa riset di LTU. Saya dengan senang hati langsung mempelajarinya dan mengirim ke LTU. Meski saya harus membayar $70 saat itu, saya tak banyak pikir saja. Setelah menunggu beberapa waktu, ternyata saya mendapatkan ketiganya! Jujur, saya lebih memilih Fulbright saat itu karena proses panjang yang saya lakukan. Belum lagi prestise beasiswanya. Tidak mudah mendapat Fulbright. Saya bahkan menjadi satu-satunya calon PhD dari Bali saat terakhir. Saya juga sudah menjalani tes iBT dan GRE.
Di lain pihak, beasiswa DIKTI meminta saya wawancara karena saya menggunakan surat penerimaan saya di LTU. Pihak LTU sendiri mengijinkan saya menunda keberangkatan saya karena saya belum ada biaya sekolah dan sedang mengajukan via DIKTI. Tak lama, ternyata pihak LTU menawari saya beasiswa dan saya diminta mengirimkan publikasi yang sudah saya lakukan, baik sendiri maupun dengan co-author lain. Segera saya kirimkan publikasi-publikasi terkait dan seminggu kemudian, saya diberi tahu kalau saya mendapatkan beasiswa riset LTU.
Tentu saya senang. Perjuangan mendapatkan ketiga tawaran ini tidak mudah. Namun jujur saja, saya masih belum terlalu menghiraukan tawaran ini. Fokus dan minat saya masih ke Fulbright, ke negara Paman Sam. Bahkan kawan saya seorang professor di Ohio University sudah siap menerima saya. Namun kita memang tak pernah bisa memaksa nasib. Jika pihak LTU sudah meminta saya datang, pihak Fulbright masih perlu sekitar 6 bulan lagi untuk menentukan Universitas tempat saya akan belajar. Dan saya tak mau mengambil resiko. Dengan berat hati, saya kembalikan beasiswa Fulbright dan memutuskan mengambil beasiswa riset di LTU. Saya juga mengembalikan beasiswa DIKTI. Saya yakin, suatu saat saya akan bisa ke negara ini.
Refleksi
Apakah saya menyesal? Jawabannya tidak. Saya saat itu berpikir dimana saja kita belajar, yang paling penting adalah kiprah. Semua pasti ada plus minusnya. Bagi saya, pilihan ke Australia adalah jalan paling baik saat itu dan terbukti saya lebih mendalami riset karena sistem belajar PhD yang berbeda dengan sistem dari negara-negara seperti US, Eropa, atau Indonesia. Semua perjalanan pasti ada dinamikanya. Saya senang karena saya bisa menggabungkan perspektif global dan lokal. Saya melihat dunia dari perspektif multi. Saya bahagia karena saya tidak terikat kontrak dengan pemerintah Indonesia dan dalam konteks saya, lembaganya sangat sering tidak suportif karena banyak alasan tak masuk akal yang terbelenggu berbagai kepentingan. Saya bisa mencari banyak kesempatan yang terbuka lebar di dunia luar sana. Apalagi jika kesempatan tersebut tidak terkontaminasi oleh praktek-praktek kotor seperti korupsi, kolusi, nepotisme.
Saat saya sedang dan sudah selesaipun saya tetap berkomitmen mengabdi pada negeri. Bagi saya mengabdi itu bisa kapan saja, dari mana saja. Banyak jejaring baru yang saya hubungkan dengan kampus tempat saya bekerja. Mengirim buku berbahasa Inggris ke SD kecil di Desa Bengkala, sebuah desa dengan komunitas tulibisu terbesar di dunia. Mendonasikan buku ke si kecil Ocha melalui wadah “Help a Child in Indonesia” gagasan sahabat bule saya yang masih muda, Hanna. Mengenalkan Indonesia melalui kelas-kelas Indonesia di Asian Studies dan sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa Indonesia ke murid-muridnya. Belajar gamelan. Bergabung dengan anak-anak muda Bali dalam wadah Bali Mendidik. Bergabung dengan kawan-kawan pengajar bahasa Indonesia di Victoria. Berkontribusi tulisan dan pemikiran di berbagai wadah publikasi berisi pemikiran-pemikiran inovatif. Review artikel. Bergabung di wadah Indonesia Belajar, membantu anak-anak di seluruh Indonesia. Menurut saya, sebuah itu aksi harus nyata. Bagi saya, ini saatnya menajamkan mata, melebarkan kepak sayap dan mengeraskan suara. Dan ini akan terus berlanjut.
Circle me @ +Made Hery Santosa
©mhsantosa (2014)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.
Thanks for sharing Bro Made Hery Santosa. Saya banyak belajar dari pengalamannya mendaftar di La Trobe University. Ke depan, mungkin jalurnya akan berbeda tapi semangat dan ketekunannya harus saya ikuti!
Sama-sama bro Steven. Yang saya ingin lebih tekankan memang karakter itu. Kalau proses, pada dasarnya mirip-mirip saja. Semoga berhasil! (y)