“Hi bro, it’s been a while!” seru Zahid suatu sore ketika bertemu dengan saya. Ia langsung memeluk saya. Saya tersenyum. Peluk memeluk itu biasa bagi saya karena saya belajar dan memahami perbedaan kultur. Bahkan misalnya dengan banyak sahabat laki-laki saya dari Timur Tengah, memeluk dan mencium pipi itu biasa juga. Bagi mereka mencium pipi – bahkan berkali-kali! – itu adalah kultur dan saya meresapi itu sebagai bagian pelajaran membuka diri menjadi penduduk dunia. Yang tidak lagi terbatas oleh sekat-sekat. Saat itu saya sedang duduk-duduk saja di foyer perpustakaan kampus beristirahat setelah seharian bekerja di kantor untuk riset. Zahid adalah flatmate saya sebelumnya. Terakhir kali saya bertemu dengannya adalah sekitar tahun lalu, di masjid kampus ketika saya membantu kawan-kawan pengajian dari Indonesia berbuka puasa dengan saudara-saudara muslim yang berasal dari berbagai negara. Meski saya berbeda agama, saya belajar banyak hal baik dari perspektif Islam dan kawan-kawan Muslim lainnya. Tugas kita kemudian hanya perlu mengambil hal-hal terbaik saja.
Ini adalah pengalaman pertama Zahid ke negeri orang sendirian. Sehingga ia dituntut harus cakap hidup dan mandiri. Saat-saat awal, ia tampak khawatir sekali. Ia mengaku belum pernah keluar negeri sebelumnya. Ia baru selesai S1 dan sekarang hendak melanjutkan S2. Jadi termasuk masih muda. Ia tidak punya teman, kecuali seseorang yang ia panggil ‘brother’ karena berasal dari negara yang sama, Bangladesh. Si ‘brother’ ini kebetulan studi doktoral di bidang ekonomi. Meski berbeda bidang dengan saya, pada dasarnya kami tetap bisa berbagi dan berdiskusi.
Ia kemudian menjadi dekat dengan saya karena menurutnya, ia merasa ada yang ia ayomi. Mungkin benar, mungkin tidak. Saya sendiri tidak merasa begitu, paling tidak, saya merasa sedang sama-sama belajar. Saya ingat, minggu pertama ia tinggal dengan saya, ia mengaku tidak bisa masak. Ini memang sepele tapi sangat menentukan seberapa jauh kemampuan bertahan hidup kita – istilahnya survival skill (baca tulisan saya tentang ini disini). Ia sebelumnya tinggal dengan orang tuanya sehingga tidak dipusingkan oleh kegiatan masak memasak ini. Apalagi, bumbu-bumbu yang beraneka ragam, tidak ia ketahui sama sekali. Saya berusaha menenangkannya. Saya juga mengalami hal yang sama, tapi bisa. Jadi saya katakan agar ia tidak khawatir.
Suatu malam, ia memanggil saya.
“Hi brother, I have bought chicken, can you please tell me how to cook this?” tanyanya, penuh harap.
Saya tahu, selama ini ia lebih banyak makan mi. Biasa, anak kos :). Mi goreng tepatnya. Sangat terkenal di berbagai negara! Sae, kawan saya seorang pengajar bahasa Inggris asal Jepang, juga mengatakan hal yang sama. Hassan pun yang berasal dari Arab Saudi punya kesan sama.
Meski saya agak lelah setelah seharian berkutat dengan riset saya, saya dengan ramah menganggukkan kepala. Saya katakan bahwa, memasak disini jauh lebih mudah dibanding di negara asal, karena semua bahan dan bumbu sudah tersedia dan terkontrol kelayakannya. Kemudian, saya berusaha membantu Zahid memasak. Untuk kali pertamanya. Satu demi satu saya berusaha memberi tahu bagaimana caranya mengolah ayam. Mulai dari membersihkan, memotong, merebus, entah menggoreng atau membuat sup dengan memanfaatkan kaldunya. Meski saya temani, saya sengaja biarkan, saya lepas. Saya percaya kadang kita harus berani mencoba sesuatu sehingga bisa mengukur diri. Ini sama dengan prinsip menjalani hidup.
Saya candai dia, “Gampang kan?”
Ia tersenyum.
Saya katakan, kalau kita sudah tahu prinsipnya, kita tinggal berkreasi saja. Bisa dengan bahan lain atau bumbu lain. Sama seperti kita belajar mengendarai mobil. Kita harus berani mencoba, kemudian menyesuaikan dengan diri dan akhirnya mencari yang paling tepat untuk diri kita.
Hari ini saya bertemu kembali dengannya. Kepada teman-temannya, ia katakan bahwa saya adalah ‘big brother’ baginya ketika pertama kali ke negara ini dua tahun yang lalu, yang mengajari masak dan kecakapan lainnya. Meski kami berbeda negera, agama dan budaya, saya senang bisa membantunya ‘matang’. Saya katakan itu tidak seberapa, hanya saling bantu. Bukankah kita semua bersaudara? Tentu saya senang mencicipi masakannya nanti. Bisa saja, ia sudah lebih jago masak dari saya! 🙂
©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.