Zulkifar adalah seorang teman baru saya. Ia berasal dari Singapura dan mengambil bidang International Relations. Karenanya, pengetahuannya tentang dunia internasional, tokoh-tokoh dan isu-isu global cukup mumpuni. Kadang, jujur saja, saya merasa ketinggalan. Saya bahkan tidak tahu nama seseorang yang ia sebut. Terlalu menggeluti suatu bidang spesifik kadang membuat kita tidak tahu bidang yang lain haha. Ia dengan fasih bercerita tentang Osama bin Laden, misalnya. Atau konflik antara Israel dan Palestina. Di dunia global, ini adalah isu-isu panas. Ketika tinggal di dunia yang beragam, pandangan dan wawasan kita dituntut tidak seragam lagi. Artinya, kita harus mampu memahami dan juga memandang sesuatu dari berbagai sisi.
Satu hal yang menarik yang ia katakan adalah tentang politics of hate. Hal ini ia sampaikan setelah saya berkata tentang gerakan Sabang Merauke di Indonesia. Gerakan ini, sederhananya, ingin menginspirasi adik-adik generasi muda dari level paling dasar untuk lebih memahami makna toleransi dalam kerangka keberagaman. Di konteks Indonesia khususnya, banyak sekali ada perbedaaan, mulai dari pandangan, kepercayaan, sikap, budaya, dan sebagainya. Dengan negara kepulauan terbesar di dunia, keberagaman ini semakin nyata. Tapi, ini juga menyimpan potensi keunikan sendiri. Karena masing-masing daerah memiliki hal yang bisa jadi tidak sama, penting sekali agar kita langsung memberikan pengalaman nyata bagaimana orang lain menjalankan apa yang mereka percaya atau yakini. Inilah yang dilakukan oleh teman-teman di Sabang Merauke. Mereka melakukan pertukaran. Agar nantinya generasi muda ini lebih mengerti adanya keberagaman sehingga lebih toleran. Bukankah toleran berarti bersikap lebih empatik dan bukan hanya dari satu sisi pandang saja? Dengan demikian akan lahir pemimpin-pemimpin komprehensif.
Teman saya Zulkifar ini kebetulan, selain mengambil PhD, juga mengajar di level undergraduate. Kelasnya terdiri dari berbagai mahasiswa yang heterogen. Ia senang sekali memberikan isu-isu kasuistik mengenai hubungan internasional negara-negara; bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain. Ia kadang memulai dengan video bagaimana Israel menyerang Palestina. Atau bagaimana Palestina melakukan bom bunuh diri. Atau bagaimana Iran memandang bangsa muslim lain dalam konteks Sunni dan Syiah. Bagaimana orang Yahudi memandang Kristen atau Islam. Banyak sekali. Semua dalam bentuk media. Ia menekankan, media adalah sumber propaganda efektif yang bisa berakibat positif atau negatif. Maka dari itu, kita harus pintar-pintar menyeleksi informasi. Ia kemudian akan menyuruh para mahasiswa berargumentasi dalam berbagai posisi dan sudut pandang. Dengan demikian, mereka akan harus mencari informasi sebanyak-banyaknya yang akurat. Bisa jadi juga, ia bertanya, siapa yang ingin menjadi representasi orang Yahudi, misalnya. Atau orang Lebanon. Ketika mahasiswa sudah memilih, ia akan mengganti posisi mereka ke sebaliknya. Yang tadi memilih Yahudi menjadi Lebanon dan seterusnya. “Put yourself into somebody’s shoes” kira-kira seperti itu.
Ini pasti tidak mudah. Pertama, isunya berat. Jadi perlu berpikir kritis dan komprehensif. Kedua, tidak mudah berada dalam posisi yang bertentangan dengan apa yang kita percayai atau jalani. Ketiga, ini masalah kematangan. Pasti akan muncul debat. Namanya juga diskusi. Nah, debat yang sehat tentu harus dilakukan dengan matang dengan alasan rasional; evidence-based. Jangan sampai, misalnya seperti kasus Munarman dengan Tamrin Tomagola. Mahasiswa Zulkifar sering berkata, “Saya senang ke kelasmu, tapi selalu merasa capek sekali setelah keluar kelas.” Kenapa? Karena mereka benar-benar berpikir dan bekerja. Ini saya pikir adalah esensi penting pendidikan (education) dan belajar (learn). Sudah seharusnya kelas-kelas di Indonesia, mengajarkan siswanya belajar memberi alasan ilmiah hasil usaha mereka sendiri dalam mencari, menyeleksi, menganalisa dan mensintesa informasi. Bukan dari sudut pandang kepercayaan. Bukan hanya satu sumber. Bukan yang relevan saja. Tapi beragam, dari berbagai sudut pandang. Ini penting. Agar siswa tidak selalu menjadi penurut saja yang tidak mampu berargumen sehat. Tidak mampu menggunakan landasan ilmiah, bukan asumsi atau pendapat pribadi. Sekali lagi, ini penting. Sejak kecil.
Politics of hate diatas hanya sebuah istilah. Pengalaman saya dengan Zulkifar tentu bisa ditanggapi beragam. Bagi saya pribadi, ini bermanfaat. Bagaimana saya terus diharapkan melihat dunia dari berbagai sisi; dari atas seperti mata burung. Juga dari bawah; in details. Dengan demikian kita bisa menjadi lebih matang dan lebih terbuka dalam menyikapi sesuatu. Semoga saja demikian. In the end, kita harus terus belajar :).
©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.