Bali di Mata Peter

KutaPeter adalah orang bule yang sudah tinggal di Indonesia cukup lama. Tujuh belas tahun. Jadi paling tidak, ia sudah cukup mengenal karakter Indonesia. Ia melakoni berbagai bidang, seperti ekspor impor, investasi dan banking, termasuk Islamic Finance. Ia tinggal di Jogja tapi cukup mengenal daerah-daerah lain, termasuk Bali. Ada beberapa hal menarik yang perlu saya ceritakan dari pertemuan saya dengan Peter ini.

Pertama, melakukan bisnis di atau dengan orang Bali tidak efektif. Ia pernah menjalin bisnis ekspor impor kerajinan tangan dengan orang Bali di daerah Bali selatan. Daerah ini masih kuat memegang budaya dan adat istiadat. Banyak industri kerajinan berkembang disini. Yang menjadi masalah adalah profesionalisme. Sering sekali, orang Bali ijin untuk alasan keagamaan dan adat. Sembahyang di desa. Upacara pernikahan, kematian, dan sebagainya. Tambahannya, mereka ijin saat itu juga, tidak jauh-jauh hari sebelumnya. Dalam konteks orang Bali, saya sadar akan hal ini. Tuntutan sosial ini tinggi di Bali. Sudah sering ada kasus dimana ada dilema muncul antara memenuhi tuntutan sosial atau pekerjaan. Teman-teman saya yang bekerja di dunia pariwisata, misalnya, sering kali harus membayar denda di desa karena tidak bisa terus-terusan ijin. Padahal, kegiatan keagamaan dan adat kuat di Bali. Dalam konteks profesionalisme (saya tidak bilang bisnis yang berorientasi keuntungan semata), hal ini tentu berakibat tidak efektifnya roda bisnis tersebut. Akhirnya, Peter memutuskan keluar.

Kedua, banyak orang menjadi greedy. Orang-orang luar tentu banyak yang mendengar Bali. Sederhananya, Bali is a guarantee untuk berlibur. Sehingga, banyak orang berbondong-bondong ke Bali dan menghabiskan uangnya di Bali. Ada yang menetap, ada yang kembali, ada juga yang tidak. Beragam alasan tentunya. Khususnya yang tidak kembali – istilahnya silent complainers – melihat Bali tidak seperti yang digambarkan di media. Macet, panas, sampah dan keserakahan. Banyak orang hanya berpikir sekarang. Ketika masih ada kesempatan, keruklah sebanyak-banyak. Eksploitasi. Tentu ini terjadi dimana-mana. Di dunia industri, hospitality dan seterusnya. Karena sejahtera tentu dambaan semua orang. Wajar sekali. Saya sebagai orang Bali melihat yang sama. Saya kecewa pemerintah terus mendatangkan kendaraan bermotor tanpa melihat kelayakan jalan. Saya heran sekaligus terkejut (tepatnya shocked) ketika melihat orang lain dengan santainya membuang sampah seenaknya. Saya concern banyak yang menjual tanahnya. Saya paham ini banyak alasannya. Tapi ketika orang menjadi serakah, mereka tidak lagi berpikir masa depan. Hanya sekarang. Tidak lagi berpikir anak, tidak lagi mengurusi apa yang akan dihadapi oleh cucu kita. Sederhana tapi berpengaruh.

Ketiga, mental. Mental pionir misalnya. Jarang saya lihat orang Bali mau menjadi pionir (tapi tidak selalu berlaku ketika berada di luar daerahnya – dengan alasan lebih terbukanya kesempatan atau alasan untuk bertahan hidup). Kenapa? Saya pikir ini masalah kultural. Jika di Jawa kita mengenal istilah “Manut lan minurut” (obedient), di Bali ada istilah “de ngaden awak bisa” (Never praise yourself too high/be arrogant). Memang, dalam konteks tertentu hal ini bisa baik. Misal, ketika kita tidak ingin menjadi terlalu dijunjung membabi buta (orientasi pada power/posisi). Tapi, pada situasi lain misalnya berpendapat berdasar fakta (reasoned debate), ini tidak harusnya menghalangi kita untuk unjuk diri (dan gigi haha). Demikian juga mental tertutup. Peter bilang, dengan orang Jawa ia harus tahu betul apakah senyum itu benar-benar senyum tulus. Tidak lain di hati lain di muka. Di Bali juga mirip. Karena budaya sungkan dan tertutup ini jadi susah bagi orang lain yang berasal dari latar belakang berbeda untuk tahu persis bagaimana mau orang-orang Indonesia. Dalam konteks bisnis, ini menyulitkan. Tapi jangan salah, ini sering terjadi kok dalam bisnis, tidak saja di konteks Indonesia. Motifnya, salah satunya sangat mungkin, keserakahan tadi.

Tentu, kita tidak bisa serta merta hanya mengamini saja. Tidak cukup mengeluh tanpa solusi konkrit. Memang, hal-hal diatas terjadi. Saya sebagai orang Bali sendiri mengakui itu. Ketika saya berada di luar konteks, gambaran akan sesuatu akan lebih jelas. Saya juga melihat hal sejenis terjadi. Tapi apakah itu buruk? Bisa iya bisa tidak. Dalam konteks profesionalisme, seseorang yang bekerja di suatu perusahaan tentu harus efektif bekerja sesuai dengan deskripsi kerja dan tanggung jawabnya. Sehingga nantinya mendapat hak yang setimpal. Ijin tiba-tiba tadi tentu sulit direalisasikan kalau ingin pekerjaan efektif. Jika tidak bisa mengikuti, solusinya harus berada pada suatu sistem atau wadah yang fleksibel. Misal, usaha sendiri atau PNS.

Nah, yang terakhir ini sedikit tricky. Sering kita pergi ke kantor pemerintahan mendapati pegawainya membaca koran atau pulang di jam kerja untuk menjemput anak dan berbagai alasan lainnya. Tidak efektif. Entah karena malas, tidak memegang kualifikasi di posisi yang ditempatkan atau alasan lainnya. Tapi kita tahu juga bahwa hampir sebagian besar anggaran belanja negara habis untuk gaji PNS. Pajak yang semestinya bisa membantu, tidak berjalan efektif karena berbagai kasus, seperti hukum yang tebang pilih, pengemplangan atau penggelapan. Jadi, biar bisa fleksibel (sekaligus untung), jadilah PNS. Cuma kalau bisa saya sarankan, jadilah PNS yang punya integritas, jujur dan efektif dalam menjalankan tugas. Itu saja. Kalau orang lain tidak demikian, cukuplah mulai dari diri sendiri.

Faktor budaya yang saya sebutkan tadi mungkin bisa jadi isu ketika ingin efektif dan profesional tadi. Tapi harus diingat, keberagaman budaya inilah daya tarik Indonesia. Akulturasi budaya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, misalnya di Jawa dan Bali terlihat unik di mata orang-orang luar. Inilah yang harus dipertahankan. Dalam konteks pariwisata, hal-hal ini menjual. Tapi bagaimana ketika budaya dan adat ini ‘menghambat’ efektifitas? Sama saja, ketika tidak ada pengelolaan efektif agar menjadi produktif, alam yang kaya atau indah tidak berarti apa-apa. Nah, kalau balik lagi ke situasi tadi, hasilnya sami mawon.

Menurut saya, pendidikan adalah kuncinya. Penting ditanamkan sejak kecil konsep keberagaman dan toleransi. Latihan berpikir terbuka dari berbagai sudut pandang juga akan mencegah arogansi lokal sektoral. Wajib juga ditekankan dari sekarang, penting agar membuang sampah pada tempatnya. At least, kalau tidak ada tempat sampah, masukkan di plastik sendiri dulu dan nanti dibuang ketika menemukan tempat sampah. Di Australia, misalnya, perlu waktu lima tahun untuk benar-benar membuat orang otomatis sadar untuk buang sampah sendiri. Dulu, ada analogi, kalau Anda buang sampah sembarangan, Anda seperti babi (maaf ya babi :)). Kemudian, ‘tekanan’ sosial muncul dimana orang-orang akan menegur atau cukup melihat saja ketika orang lain membuang sampah sembarangan. Sehingga muncul kesadaran dari diri sendiri. Tentu saja, hukum/aturan yang kuat dan mengikat perlu. Perlu sekali bahkan. Karena kalau tidak, tidak ada yang menjadi acuannya. Lihat Singapura, denda yang tinggi membuat negara itu bersih. Juga negara-negara di Eropa. Hal tersebut penting, tidak saja untuk sekarang ini, tapi untuk masa yang akan datang.

Pendidikan juga penting diberikan ketika suatu daerah baru potensial yang ingin berkembang. Kita bisa menunjukkan daerah yang sudah termakan oleh keserakahan orang-orangnya atau tergerus oleh berbagai isu sebagai suatu contoh bagi daerah lain. Tidak bisa dipungkiri, daerah yang sudah terlalu banyak masalah mengalami isu sustainability dan tidak mudah untuk diperbaiki. Daerah baru yang ingin berkembang dan punya potensi kemudian bisa belajar dari pengalaman itu. Sehingga hal yang sebelumnya sudah terjadi di daerah lain, terhindarkan. Tentu saja, ini perlu komitmen banyak pihak.

Pendidikan ke orang luar Indonesia dan Bali juga penting sekali. Sudah menjadi pengetahuan umum, kalau turis mengenal Bali tapi tidak tahu Indonesia. Bali adalah suatu pulau sendiri, seperti Tahiti atau Maldives. Sering turis juga menganggap Bali sudah banyak masalah. Panas, macet, kotor, bom, teror dan sebagainya. Dari mana mereka tahu? Media. Untuk itu, pendidikan juga perlu diberikan kepada orang-orang luar yang ingin berkunjung. Dengan media, hal-hal positif harus diangkat. Dengan media, ditunjukkan usaha-usaha positif memperbaiki hal-hal negatif. Tidak mudah. Benar. Tapi harus dimulai dari sekarang. Saya ingat mengajar anak-anak setingkat undergraduate di Bali. Ketika saya tanya apa yang mereka bisa katakan mengenai sampah di Kuta misalnya. Jawaban yang paling mengejutkan adalah, “Itu bukan urusan saya.” Saya tidak menyalahkan, tetapi penting sekali kesadaran kolektif dibangkitkan. Kalau bukan kita, siapa lagi.

Tentu ini tidak akan berlaku seragam di mata teman-teman. Tidak ada yang salah, tidak ada yang paling benar. Yang paling penting saya lihat adalah perlunya intropeksi ke dalam sekaligus perlunya aksi keluar. Apa yang Peter lihat adalah fakta. Dengan pengalaman belasan tahun di Indonesia, pandangannya perlu diperhatikan. Saya ingat, teman saya yang lain, Steven. Ia bekerja sebagai supir dari perusahaan DHL, pengiriman barang. Ia jelas mengatakan bahwa Bali sudah terlalu crowded dan kotor. Lombok mungkin akan menjadi tujuan wisatanya ke depan. Ini fakta. Tidak harus dilihat dari kacamata kompetisi, tapi refleksi dan aksi. Mulailah dari diri sendiri, kawan!

Image source

©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.

10 thoughts on “Bali di Mata Peter

  1. indrihapsari says:

    Saya melihat org Bali menurut sekali pada adatnya, prioritas deh pokoknya. Karena itu kalau mau menertibkan dan meluruskan, sebaiknya masuknya lewat adat juga. Btw, di Bali hari liburnya banyak ya 🙂

    1. Made Hery Santosa says:

      Sepakat Mbak Indri. Potensi uniknya harus tetap dijaga, namun perspektif hrs luas. Ya bener, terlalu banyak libur malah haha 😀

  2. enny sm says:

    Pagi Bli.maaf bli kalau saya mau membaca publikasi bli tentang metode mengajar u siswa bli sesuai yng bli presentasikan ke link mana ya, jurnalnya apakah di L trobe, bisakah dibuka disini? terimakasih banyak 🙂

    Rgds Enny SM

    ________________________________ Dari: Made Hery Santosa Kepada: ennyyoi@yahoo.co.id Dikirim: Selasa, 2 Juli 2013 20:41 Judul: [New post] Bali di Mata Peter

    WordPress.com Made Hery Santosa posted: “Peter adalah orang bule yang sudah tinggal di Indonesia cukup lama. Tujuh belas tahun. Jadi paling tidak, ia sudah cukup mengenal karakter Indonesia. Ia melakoni berbagai bidang, seperti ekspor impor, investasi dan banking, termasuk Islamic Finance. Ia ti”

    1. Made Hery Santosa says:

      Bli Gus, thank you. Although you did not say anything other than the link, I found the movie is somewhat greatly connected, especially the first part. The movie review is helpful to understand the movie as well. I’ll watch in my spare time. Thanks and have a nice day! 🙂

  3. veeonica says:

    entah harus memulai dari mana untuk menyadarkan orang-orang bahwa sampah keil dapar berakibat fatal. sayang sekali tidak banyak orang yg benci dengan sampah, kebanyakan justru mengkoleksinya.

  4. Ayu Asri says:

    Saya setuju Pak. Pendidikan memang bisa mengubah semuanya. Tentunya bagi kita yang sudah menjadi orang tua. Sekecil-kecilnya harus diajarkan sejak dini. Kebiasaan buang sampah di tempatnya, kebiasaan bangun pagi, kebiasaan gosok gigi, sembahyang, tepat waktu.. Inspiratif banget Pak. Suksma!

    1. Made Hery Santosa says:

      Sepakat Asri. Pendidikan keluarga cermin kualitas pribadi seseorang.
      Thanks ya sudah baca dan komen 🙂

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s