
Setiap tahun, program bahasa Indonesia di La Trobe University melakukan satu kegiatan bertema budaya Indonesia. Tahun lalu misalnya, teman-teman mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia ini belajar angklung. Ada juga kegiatan lain, seperti lomba kelereng dan memasukkan pulpen ke botol. Ya, seperti acara kemerdekaan, karena memang kegiatan ini adalah serangkaian HUT RI. Tahun ini, Bu Linda, salah seorang pengajar di program ini, memberikan pengalaman yang cukup mengesankan. Beliau mengundang Pak Aaron dan Bu Nita dari Bendigo Campus, LTU untuk memberikan pelatihan gamelan dan tarian Jawa. Bagi mahasiswa bule/luar Indonesia, tentu ini pengalaman yang mengesankan!
Sebelumnya, saya pernah bertemu dengan pasangan pengajar seni ini. Ketika itu, saya dan Manik, istri saya, datang ke salah satu sekolah di daerah Point Cook untuk berpartisipasi sukarela mengajarkan budaya Indonesia. Dirangkai dalam kegiatan bernama ‘Asia Week’ anak-anak sekolah dasar ini belajar berbagai kebudayaan Asia, termasuk Indonesia. Kami waktu itu membantu mengajar angklung, tari piring, dan gamelan. Mengingat kami tidak begitu mahir, kegiatan-kegiatan tersebut tentu saja memberi tambahan ilmu baru bagi kami. Selain itu, tentu saja, teman-teman baru.
Kembali ke kegiatan gamelan kali ini. Saya menelpon Deny, Presiden PPIA LTU saat itu, menanyakan nomor kontak Bu Linda. Karena saya tidak menemukan dimana kegiatan ini berlangsung. Dengan lanskap LTU yang begitu luas, banyak orang, bahkan yang sudah lamapun, bisa kebingungan mencari suatu lokasi di kampus luas ini. Untungnya peta tersebar di berbagai sudut, atau bahkan aplikasi smartphone seperti ‘Lost on Campus’ bisa digunakan dan sangat berguna. Jeanette, salah seorang trainer untuk para tutor seluruh LTU dari departemen Curriculum, Teaching and Learning Centre (CTLC) bahkan pernah mengatakan, dengan nada bercanda, bahwa aplikasi ini paling banyak diunduh untuk kampus LTU ini! 🙂
Setelah mendapatkan nomor yang dimaksud, saya mencari tahu apakah masih bisa mengikuti kegiatan ini. Untung saja, saya masih sempat mengikutinya. Diringi hujan gerimis, saya berjalan ke Union Building, tempat kegiatan ini dilangsungkan. Sesampainya saya disana, saya melihat beberapa mahasiswa BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) sudah semangat memukul-mukul gamelan. Saya kemudian menyapa Bu Linda, Bu Nita dan Pak Aaron. Kegiatan ini ada dua macam, workshop gamelan dan tarian. Setelah berlatih, anak-anak BIPA kemudian menampilkan hasil workshop ini di Agora, semacam rendezvous point di LTU. Di Agora, anak-anak BIPA yang lain sibuk memanggang sate ayam dan berjualan aneka makanan Indonesia seperti gado-gado dan bubur ketan, kepada orang-orang yang lewat. Nuansa Indonesia terasa sekali.
Saya yang tadinya hanya bermaksud ikut menengok dan berlatih gamelan sebentar ternyata diminta untuk membantu nampil bermain gamelan dengan beberapa mahasiswa bule lain mengiringi para penari. Saya, dengan setengah yakin, mengiyakan. Kenapa? Karena jujur saja, saya tidak bisa gamelan sama sekali! Meski saya dari Bali yang terkenal dengan seninya, saya tidak cukup beruntung mengenal hal ini. Namun, sebelum tampil semua berlatih gamelan lagi. Awalnya, saya masih bingung. Jujur saja, pemahaman notasi saya tidak canggih. Ini sebabnya saya berhenti belajar bermain gitar dan beralih bermain drum sebelumnya. Haha 😀 Untung saja, Pak Aaron cukup telaten. Notasi yang dimainkanpun cukup pendek dan sederhana, cenderung berulang-ulang. Akhirnya dengan beberapa kali latihan, semua bersiap menuju Agora, tempat berkumpul orang-orang di tengah LTU. Diiringi hujan, semua bekerja membantu. Ada yang mengangkut perangkat gamelan, ada juga yang membantu di bagian memasak dan berjualan. Richard, mantan Presiden BISA (Bahasa Indonesia Students Association) misalnya, terlihat sibuk diselimuti asap harum sate ayam. Jasmine, Presiden BISA saat ini, juga sibuk melayani pembeli makanan dengan senyum manisnya.
Para penabuh dan penari sebelumnya sudah berganti pakaian. Jadilah kami mengangkut perangkat gamelan dengan pakaian lengkap. Tentu saja, semua mata memandang, mungkin heran atau takjub, siapa orang-orang ini. Setelah gamelan tersusun, kamipun bersiap. Saya berjejer di belakang bersama Jon, Codey dan satu orang mahasiswa lainnya. Ada Jo di depan memukul kenong. Ada juga Patrick dan Richard serta beberapa teman lain. Bu Linda juga ikut memukul gong. Para penari, Luky bersama dua teman dan Bu Nita, bersiap untuk menari. Orang-orang mulai berkerumun. Saya lihat Mbak Inge, Mbak Ita, Echa, Nita, Agung, Yudis, kawan-kawan Indonesia juga menyemangati kami. Mulailah gamelan dimainkan dan penari melenggak-lenggokkan badan gemulainya seiiring gamelan. Kadang saya lupa atau salah notasi sehingga gamelan berbunyi sumbang. Atau teman lain ketinggalan ritme jadi suara gamelan tidak ramai lagi. Untung saja, gamelan Jawa ini cukup lambat ketukannya, jadi ketika salah atau ketinggalan, kita masih bisa kembali dengan cepat. Nggak bisa saya bayangkan kalau saya harus bermain gamelan Bali yang dikenal dinamis 🙂
Pengalaman ini sangat mengesankan. Selain memberi pengalaman budaya bagi mahasiswa yang belajar bahasa Indonesia, mereka juga belajar sesuatu yang baru, misal angklung atau gamelan ini. Sayang sekali, cuaca kurang bersahabat hari itu, hujan sepanjang hari sehingga rumput menjadi basah. Bendera Indonesia juga tampaknya perlu dibentangkan lebar-lebar untuk menandakan bahwa ini kegiatan budaya Indonesia. Meski demikian, saya salut dengan anak-anak BIPA ini. Yang saya acungi jempol adalah mereka mau bergotong royong mengangkat gamelan yang berat-berat sebelum dan sesudah kegiatan. Kalau di Indonesia, saya dan adik-adik di kemahasiswaan mungkin biasa begini, tapi saya juga melihat hal yang sama saat itu. Saya salut dengan anak-anak bule ini. Saya sendiri juga jadi bisa ‘bermain’ gamelan Jawa. Paling tidak, ada nostalgia sedikit dengan masa-masa saya nge-drum dulu di Gothic Princess band 🙂
©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.