
Dalam setiap perjalanan, saya lumayan banyak melihat, mendengar, dan mengalami hal-hal menarik. Biasanya saya gunakan untuk refleksi pribadi saja. Namun baru-baru ini ada satu momen menarik yang perlu dituliskan tampaknya.
Saya sedang antre untuk check in. Ini adalah kali kedua saya mulai aktif kembali menerima undangan setelah lebih dari 2 tahun belajar dan berbagi dengan banyak teman-teman cendekia dari layar Zoom saja. Kali ini, meski sudah web check in dan print juga boarding pass di mesin self check in di bandara, saya tetap menuju konter karena harus melakukan baggage check in. Suasana konter sangat ramai. Ini padahal masa baru-baru pembukaan akses ke Indonesia. Khususnya Pulau Bali, ini tentu hal menggembirakan bagi banyak pihak yang memang sebagian besar bergantung pada kedatangan tamu-tamu luar.
Banyak wisatawan domestik dan manca negara. Di belakang saya, ada dua orang bule – begitu kami biasa menyebutnya – tidak perlu tau dari mana, kalau sudah luar, ya bule, atau toris he he. Sepertinya dari US, dari gaya bicaranya. Di depan, ada dua bule lain, sepertinya dari Perancis, dari karakteristik wajah dan tentu bahasa yang mereka gunakan. Tiba-tiba, bule cowok Perancis naik ke belt baggage check in untuk menarik kembali tas kopernya. Dua bule di belakang saya yang sepertinya dari US mulai ngomong. Intinya, kenapa dia naik kesana. Kenapa tidak dipakai controller untuk return belt, semacam menarik kembali tas yang sudah di luar jangkauan staf tersebut. Apalagi setelah dilihat, tujuannya adalah agar staf bisa memasang ulang bar tag tas mereka. Menaiki belt juga kita tau dilarang, karena bisa merusak alat tersebut. Demikian kira-kira isi obrolan mereka. Saya menunduk. Diam mendengarkan. Untung ngerti bahasa Inggris hehe…
Namun, ada satu hal yang menyentak saya kemudian. Si bule cewek yang sepertinya dari US ini tiba-tiba bilang menanggapi fenomena yang mereka lihat itu dengan satu kata, “Well…, Indonesia….” Saya tersentak. Menunduk. Artinya jelas.. “Yaa … (ini) Indonesia.” Saya dapat membayangkan masa-masa ketika antre di bandara di Michigan misalnya, atau di Melbourne, atau di Schiphol. Rasanya, mereka ada benarnya.
Saya masih tersentak, karena yang naik juga orang bule, yang seharusnya paham itu tidak boleh. Saya tersentak, staf konter membolehkan, tak bicara apa-apa. Ini mirip dengan apa yang dialami dan kemudian menjadi tulisan dari Elizabeth Pisani dari bukunya yang berjudul Indonesia Etc. (bisa lihat tautan ini) yang saya baca beberapa tahun silam. Berbeda dengan pemandangan di atas, ia melihatnya dari sudut pandang kebalikannya, dari sudut pandang bule, yang Indonesianis.
Saya ambil botol minuman mineral dalam tas, ahh inikah salah satu citra bangsa saya di mata mereka? Masih begitukah citra kita meski sudah banyak hal baik positif yang ada? Well, bule US tadi belum tentu benar dan berhak judgmental tentunya. Tapi penting juga setidaknya bagi saya melihat sesuatu dengan banyak sudut pandang. Saya hanya bisa menghabiskan air di botol minuman saya sambil bergerak ke konter karena giliran saya selanjutnya sudah tiba.
©mhsantosa (2022)