Flying Fox dan Sabtu Kedua yang Menyenangkan

IMG_9138

Penulis: Made Hery Santosa & Kadek Manik Permata

Putri kami, Rachela, bersekolah di salah satu sekolah PAUD di Singaraja, Bali yang berkonsep sekolah alam. Tidak banyak ada toys atau soft play area, seperti yang kami lihat sebelumnya di sekolah-sekolah di Australia, namun playground-nya luas. Setelah kembali dari studi di Melbourne, kami melihat-lihat beberapa pilihan sekolah yang kira-kira paling representatif menurut pandangan kami. Singaraja adalah sebuah kota kecil di daerah Bali Utara. Meski dulu sempat menjadi ibu kota Sunda Kecil (meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) sampai tahun 1958, Singaraja tetaplah kota kecil. Hal ini berdampak pada terbatasnya pilihan, termasuk pilihan sekolah yang bisa dikatakan baik untuk belajar sambil bermain bagi anak-anak tingkat pendidikan awal dan dasar.

Setelah berkeliling, akhirnya kami memilih sebuah sekolah PAUD yang baru berdiri untuk putri kami belajar. Dengan menganut prinsip sekolah alam, kami melihat sekolah ini memberi kesempatan bagi anak didiknya untuk bermain tanpa mengabaikan esensi belajar. Dengan halaman hijau berisi kolam luar berbentuk pulau Bali, kondisi ini kami harap mampu memberi pengalaman belajar tidak hanyak di dalam ruang kelas atau gedung sekolah saja. Halaman berumput sekolah ini cukup luas untuk membuat lelah puluhan anak kecil yang berlarian di sana. Di tiap sudut ditempatkan mainan seperti satu ayunan, satu perosotan, satu wahana panjat dan satu mainan yang bisa berputar-putar. Cukup itu saja. Apakah cukup untuk memenuhi keinginan anak-anak yang jumlahnya sekitar 40 itu bermain? Cukup.

Mereka diajarkan sharing (berbagi) dan take turn (bergiliran). Semuanya sudah terbiasa bergiliran, jadi tidak perlu ada adegan berebutan penuh air mata dan teriakan-teriakan nyaring saat waktu istirahat bermain tiba. Bagi anak-anak yang bosan menunggu karena belum kebagian giliran bermain salah satu permainan itu, bisa kembali ke halaman rumput untuk bermain bola, hulahup, kejar-kejaran, kemah-kemahan dengan tenda portable, bermain masak-masakan dengan dedaunan dan bunga di sekitar, atau bermain dengan kelinci peliharaan sekolah yang bernama Donna. Bagi yang merasa tidak ingin bermain di luar, mereka bisa asyik bermain dalam ruangan yang disediakan dengan mainan flashcards, atau bermain peran, atau menonton kartun di televisi.

Di sekolah ini, hari Sabtu selalu menjadi hari favorit anak-anak. Sabtu pertama adalah sesi bakat dan seni. Sabtu kedua bermain flying fox. Sabtu ketiga sesi bakat dan seni lagi. Sabtu keempat kegiatan masak bersama (fun cooking). Dari semua hari Sabtu, hari Sabtu minggu kedua menjadi Sabtu yang paling seru karena ada aktivitas flying fox yang seru. Sekolah ini sepertinya memang sudah menyiapkan aktivitas ini dimana sarana dan tempat sudah khusus disediakan. Alat-alat flying fox dengan standar keamanan yang tinggi dan sesuai level anak-anak. Kebetulan, pemilik sekolah ini adalah kawan lama kami yang dulu sempat terlibat bersama-sama di kegiatan Pecinta Alam dan outdoor. Jadi kami memahami dan mendukung kegiatan ini dengan tetap memperhatikan keamanannya.

Sabtu itu Rachela datang agak terlambat. Dengan pelan dia membuka sepatunya dan menyimpannya di rak sepatu sekolah dan mengambil sandalnya (di sekolah ini, anak-anak tidak menggunakan sepatu selama jam sekolah). Mereka punya sandal masing-masing yang dipakai selama jam sekolah karena mereka akan mondar-mandir dari kelas dan halaman rumput). Untuk menanamkan saling pengertian, sekolah mengajarkan kepada anak-anaknya untuk tidak berebut ketika hendak menaruh atau mengambil sandal masing-masing. Demikian juga, masing-masing anak diajarkan untuk menaruh dengan rapi pada tempat yang sudah disediakan.

Karena agak terlambat, banyak teman-temannya yang sudah menggunakan harness untuk flying fox dan duduk mengantri di halaman rumput, menunggu nama mereka dipanggil. Beberapa anak masih sedang dipasangkan harness oleh gurunya. Beberapa anak bermain di dalam ruangan kelas atau hanya duduk menonton karena sedang tidak ingin main flying fox, entah karena tidak mood, atau belum berani. Tidak ada paksaan dari siapa-siapa. Awalnya, kami sempat mengira teman-temannya mungkin akan meledek teman yang takut atau tidak mau mencoba itu, tapi ternyata tidak. Beberapa guru dan teman-teman lainnya sempat merayu, “Ayo, Ina, ayo Wulan, main yuk…”, tapi mereka tetap belum mau, dan ini tidak dipaksakan atau diejek. Semua tidak apa-apa dan biasa saja.

Rachela belum kebagian harness saat itu, karena kehabisan persediaan. Jadi ia harus menunggu temannya selesai ‘terbang’ lalu memberikan harness-nya pada Rachela. Setelah selesai, anak-anak harus bergiliran dan mengantri di urutan paling belakang untuk mendapat giliran terbang selanjutnya. Namun ada satu anak laki-laki, Aditya, yang tampak bersemangat sekali terbang dengan flying fox. Setelah selesai, ia memang memberikan harness yang ia pakai ke Rachela yang sedang mengantri karena terlambat tadi. Tapi sepertinya ia sedang sangat bersemangat dan belum puas dengan sekali terbang. Anak laki-laki itu dengan santainya duduk di tengah-tengah barisan temannya. Langsung saja teman-temannya protes. Tetapi anak itu tidak dikeroyok atau dibully oleh teman-temannya. Mereka hanya langsung mengadu pada guru mereka.

Ada beberapa anak yang melakukan hal yang sama, mungkin dengan alasan yang sama. Guru mereka dengan tetap kalem meminta mereka pindah ke barisan belakang. Jika mereka tidak mau, atau mengulanginya lagi, mereka akan diberikan tugas membersihkan halaman rumput atau merapikan rak sandal sekolah. Tidak pernah ada hukuman fisik langsung pada murid-murid. Mereka tidak pernah disakiti tetapi mereka pun berpikir, bahwa tidak menyenangkan kehilangan hak bermain di akhir jam sekolah untuk melakukan tugas membersihkan halaman atau merapikan rak sandal atau sepatu karena mereka mereka mengambil hak teman-teman lain dalam giliran flying fox. Rachela juga sudah pernah mendapat tugas membersihkan dedaunan di halaman dan merapikan sandal teman-temannya, tapi untuk alasan yang berbeda, yaitu karena lupa memotong kuku pada saat pemeriksaan kuku hari Senin hehe.

Saat dalam antrian di halaman, Rachela terlihat asyik mengobrol dengan teman-temannya, sambil sesekali melirik temannya yang sedang mendapat giliran terbang. Sekarang masih giliran seorang anak dari Play Group yang belum lama bersekolah di sekolah itu. Dia masih terlihat malu dan takut tetapi ia ingin mencoba. Dengan diiringi semangat guru-gurunya, anak perempuan kecil itu, yang kemudian kami ketahui bernama Luh Ade, menutup matanya selama ia terbang dan begitu sampai dia langsung menangis dan dipeluk oleh seorang guru yang berjaga di ujung akhir tali flying fox. Ia harus berjalan kembali ke tempat awal untuk mengembalikan tali dan harness-nya, masih dengan airmata nya. Rachela dan teman-temannya sama sekali tidak mengejeknya, mereka malah bertepuk tangan. Mungkin maksudnya memberi semangat dan selamat padanya karena berhasil mencoba, walaupun tidak ada dari mereka yang benar-benar mengucapkan hal semacam itu. Tapi pastilah itu arti tepuk tangan mereka. Verbal abuse juga sangat jarang terjadi di antara anak-anak itu karena begitulah mereka dibiasakan.

Nama Rachela pun dipanggil. Dengan bahagia dia naik ke atas meja dan terbang dengan senyum. Ini sudah tahun ketiganya di sekolah itu, dia sudah sangat menikmati flying fox. Giliran keduanya dia terbang bersama temannya. Terbang berdua sekaligus juga membuatnya senyumnya tambah lebar.

Catatan: Tulisan ini adalah bagian bab dari buku mengenai Pendidikan Karakter.

@mhsantosa

Circle me @ +Made Hery Santosa

©mhsantosa (2017)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s