La Trobe, Education R. 317, Melbourne, Malam Hari
Saya menatap layar komputer di kantor saya tempat saya menuntut ilmu sekarang. Tampak kursor berkedip-kedip diantara deretan angka-angka stastistik dan beberapa paragraf setengah jadi. Saat ini sudah jam 9 malam, namun saya harus menyelesaikan bab terakhir ini. Meski hari ini sudah dua gelas cappuccino masuk ke tenggorokan saya sebagai batas maksimal, mata ini sudah tampak lelah. Saya pejamkan sebentar. Bayangan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Language Centre tempat saya mengajar bahasa Inggris saat ini berkelabat satu-persatu. Ada Ossy, ada Suci, ada Akira. Yang pertama sedang di level 1, yang kedua di level 3 dan yang terakhir di level 4, uniknya ia campuran Jepang.
Mereka anak-anak yang masih sangat muda, sedang belajar Bahasa Inggris secara intensif karena belum mencukupi nilai yang dipersyaratkan pihak universitas. Dari mereka, saya melihat bahwa semuanya berasal dari private student, maksudnya mereka membayar sendiri biaya kuliahnya. Saya bisa cepat maklum kalau mereka pasti orang punya. Bisa anak pejabat atau pengusaha sukses. Namun, mereka sebenarnya ingin mendapat beasiswa belajar. Ossy bilang kepada saya kalau ia sudah mencoba namun masih belum berhasil. Baginya lebih baik mendapat beasiswa karena akan membuatnya lebih bisa merasakan perjuangan dan menghargai perjuangan itu.
Suci lain lagi, ia memang dari awal ingin kuliah di luar negeri. Kebetulan orang tuanya adalah pejabat negeri. Baginya tak sulit untuk masalah biaya. Saya melihat memang dengan mata kepala sendiri bahwa banyak sekali ada anak-anak pejabat Indonesia yang kuliah di luar negeri, anak anggota dewan juga termasuk di dalamnya. Pernah saya menjadi supir Menteri dan mengantarkan menemui anak-anaknya. Di dalamnya ada anggota dewan pusat yang anaknya juga sedang studi di luar. Tentu tak sulit buat mereka untuk studi dibanding kawan-kawan lain yang katakanlah tak memiliki kemampuan finansial seperti itu.
Akira termasuk berbeda. Ia memiliki ayah Indonesia dan ibu Jepang. Namanyanya pun unik, ada nama Indonesia bergabung dengan nama Jepang. Saya sendiri senang bertemu ketika ia mendekati saya di dekat perpustakaan kampus mengenalkan dirinya. Karena ia butuh kawan, saya arahkan ia bergabung dan terlibat di kegiatan kawan-kawan PPIA. Karena ia memiliki pengalaman dan kesempatan berbeda ini, ia dengan dibantu orang tuanya memilih tinggal di luar negeri dan melanjutkan studinya.
Saya tertegun. Mata saya membuka. Saya berpikir, mengapa anak-anak Indonesia tak memilih studi dengan beasiswa dimana peluang dan kesempatan justru semakin besar saat ini. Hal ini berbanding jauh dengan negara Arab Saudi, misalnya. Hampir semua mahasiswa saya yang berasal dari Arab Saudi datang dan belajar bahasa Inggris berasal dari skema beasiswa. Tentu, skema dan dukungan pemerintahnya sangat berperan. Dari sinilah saya ingin sekali mendorong anak-anak muda potensial yang berkarakter pejuang untuk berani mencoba beasiswa.
Lantai 3, Kampus FBS Undiksha Singaraja, Bali, Sore Hari
Saya menerima kedatangan kawan lama saya, seorang mantan Wakapolres Kabupaten Buleleng. Namanya Pak Nyoman. Saya tak sengaja bertemu dengannya di depan ruang Rektor ketika saya juga akan menghadap memberitahukan bahwa saya sudah kembali studi. Setelah itu, kami berjanji untuk bertemu dan ngobrol tentang ide-ide dan program yang bisa kita kerjakan bersama. Setelah menunggu lima menit, Pak Nyoman datang. Ia sebenarnya jauh diatas saya, namun karena saya pernah mengajarnya bahasa Inggris dulu, kami menjadi cukup dekat. Ia saat ini dipercaya mengurusi bagian pendidikan di sekolah calon polisi. Karenanya saya mencoba melihat apa yang bisa saya lakukan untuk hal ini. Disamping itu, ia meminta tolong kepada saya untuk bercerita pengalaman saya kepada anaknya yang baru saja selesai kuliah. Ya hanya bercerita.
Tak kurang dari 15 menit, anak Pak Nyoman datang. Namanya Arya. Saya coba gali apa yang dia perlukan dan inginkan. Dari sana, saya mulai bercerita bagaimana saya bisa mendapat beasiswa dengan semangat pantang menyerah, diawali keberanian. Ia tampak bersemangat, matanya berbinar. Dari orientasi ‘kapal pesiar’ (orang Bali banyak sekali berorientasi ke kapal pesiar karena, salah satunya, peningkatan taraf hidup) ia mampu memahami perspektif lain tentang ke luar negeri. Tak harus dengan jalan itu saja, namun masih banyak ada jalan lainnya.
Setelah mereka pulang, saya merenung. Rencana saya ketika terpejam di kantor saya di Melbourne lalu harus bisa saya wujudkan. Sebenarnya saya sudah juga menghubungi kawan-kawan muda lainnya. Selama ini banyak sekali yang berkonsultasi kepada saya mengenai beasiswa (bahkan mencari kerja!) luar negeri. Saya layani mereka tanpa berpikir latar belakang dan motivasi keuntungan. Bagi saya, membantu dengan tulus adalah hal baik. Kebetulan, saya akan menonton Mata Najwa di Aula Universitas Udayana dan saya bisa luangkan waktu bertemu kawan-kawan di Denpasar yang menurut saya paling mungkin saya ajak bekerja mewujudkan ini. Yang menarik, justru pada perjalanannya, saya dipertemukan dengan banyak kawan baru yang potensial, termasuk Mbak Linda dari InLine dan Youth Corner.
Berbagi tentang Beasiswa itu Panggilan Hati: InLine House, Denpasar

Puspa, kawan muda yang banyak membantu terwujudnya kegiatan berbagi ini memberitahu saya kalau ada sekitar 42 anak muda yang ingin datang. Saya harus menempuh perjalanan selama dua jam dari Singaraja menuju Denpasar. Dibantu adik saya, tempat acara bisa kami temukan. Ketika proses registrasi, saya bertemu dengan beberapa kawan baru. Ada sahabat Kadek dari Gianyar, penerima beasiswa ke Inggris. Ada Ridoi, adik hebat yang akan berangkat ke New Jersey dalam waktu dekat. Ada Bu June dan Redi kawan-kawan dari EdLink yang juga membantu dalam hal IELTS dan konsultasi. Saya banyak bertemu mahasiswa saya dulu yang ternyata sudah bekerja baik. Ada kawan-kawan baru yang sangat semangat.
Saya lihat mata-mata berbinar, menyala setiap salah satu dari kami para pembicara membagikan cara, motivasi dan tips. Ada tiga pembicara yang sangat bersemangat menginspirasi berbagi pengalamannya. Ada dari benua Eropa (Inggris), Amerika (New Jersey) dan Australia (Melbourne). Tentu ini kesempatan langka. Saya pribadi sangat senang bertemu kawan baru, perspektif baru. Banyak hal unik dan menarik muncul ketika penyampaian. Yang pasti, dorongan untuk memiliki karakter pejuang, tak menyerah dan pemberani selalu terlihat jelas dari penyampaian kawan-kawan pembicara lain. Bagaimana Ridoi bercerita tentang usaha tak pernah menyerahnya melamar beasiswa PRESTASI sampai diterima. Bagaimana sabahat Kadek bersemangat mendorong karakter berani gagal dalam mencari beasiswa. Bagaimana saya menekankan usaha menuju keberhasilan. Semuanya saling bahu-membahu; tak dibayar. Saya yakin dalam hati Kadek dan Ridoi memiliki semangat sama dengan saya, ingin anak muda Bali maju melalui cara akademik.
Sesi tanya jawab kemudian dibuka. Cukup banyak yang bertanya. Arahnya memang lebih ke teknis, misal mencari LoA, menghubungi calon pembimbing, IELTS kurang. Namun dari sekian itu, saya melihat hal menarik dikaji. Beberapa masih bimbang dengan pilihannya, terutama ketika pulang nanti mau jadi apa. Apalagi jika nantinya bidang studi tak linier. Saya tebak arahnya adalah menjadi PNS. Dan benar. Saya pikir ini adalah pola pikir yang harus diubah, bahwa PNS bukan segala-galanya. Saya paham, menjadi PNS ini cukup populer di Indonesia karena ia diyakini mampu memberi jaminan hari tua. Kerja tak kerja (maaf) tetap digaji, sampai pensiun nanti. Sehingga, di sisi lain, banyak yang berlomba mencari ini dengan cara apapun. Akibatnya banyak. Umumnya, karena posisi yang ditawarkan sering tak sesuai dengan keahlian, sistem menjadi tak bekerja efektif. Celakanya, hal ini banyak terjadi dan banyak yang tak mau merubahnya.
Kami sepakat mengatakan bahwa tidak masalah jika jurusan tak linier. Ini adalah masalah peluang dan kesempatan. Peluang yang ada, kesempatan berkembang. Tentu jika bisa diusahakan sejalan, karena ini tentu lebih memudahkan kita nantinya karena sudah memiliki latar belakang cukup di bidang tertentu tersebut. Namun bukan berarti kita tak boleh memilih yang tak sejalan. Intinya adalah pilih yang paling membuat diri sendiri mampu berkembang pesat.
Dwi, mahasiswi Udayana yang mewawancarai saya untuk Pers Akademika tempat ia belajar menjadi wartawan, ingin mengetahui alasan saya melakukan ini. Tak dibayar. Tak meminta. Dan saya dengan tanpa beban berkata bahwa ini adalah panggilan hati saja agar lebih banyak lagi anak-anak muda, khususnya Bali yang bisa mendapat kesempatan memiliki wawasan global dan mensinergikannya dengan kearifan lokal.
Berbagi tentang Beasiswa itu Panggilan Hati: Mailaku, Singaraja

Sebenarnya, ide awal saya dan kawan-kawan yang akan membantu kegiatan berbagi ini sederhana. Saya pun tak muluk-muluk. Cukup kecil saja yang penting bermanfaat. Awalnya kegiatan ini memang akan dilakukan di lingkup Singaraja saja. Kenapa? Karena ada Universitas besar disini, tempat saya mengajar. Logikanya banyak anak muda potensial. Namun jika pada akhirnya Denpasar lebih dulu mulai adalah suatu hal yang bisa saya bilang hebat juga. Karena justru karakter Denpasar sebagai kota lebih besar memberi peluang beragamnya peserta. Sifatnya lebih terseleksi, cair dan heterogen.
Kegiatan di Singaraja adalah semacam kegiatan lanjutan kegiatan sebelumnya. Saya tetap mendorong anak-anak muda yang terlibat lebih aktif karena ini adalah dunia mereka. Saya sendiri paham ini. Saya lama di kegiatan kemahasiswaan sehingga mengerti bagaimana dan apa yang harus dilakukan. Kebetulan ada anak muda aktif bernama Donnie. Ia terlibat di komunitas Anak Alam yang digagas oleh saudara Pande. Oleh Puspa, ia dimintai bantuan untuk bekerja teknis untuk kegiatan di Singaraja ini. Bersama Tya dan kawan-kawan mudanya, ia bekerja dengan baik. Kami juga melewati waktu-waktu intensif berbagi informasi dan cara, mengatasi masalah dan mewujudkan ide nyata. Tak kenal lelah, tak dibayar. Kali ini, kawan-kawan saya Windu dan Putrini yang siap membantu. Windu berbagi tentang Prancis dan Eropa, Putrini tentang Illinois dan Amerika sedang saya tetap berbagi tentang Melbourne dan Australia. Saya sengaja arahkan demikian karena ini adalah kegiatan berbagi maka harus dari berbagai sumber; dari benua berbeda. Daya tarik tentu akan mengikuti.
Saya bisa lihat kembali mata-mata yang berbinar. Meski secara umum tidak ‘seberani’ Denpasar (mungkin karena karakter sosial masyarakatnya), peserta tetap bertahan dengan antusiasme semakin meningkat. Windu dengan fasih dan atraktif memotivasi anak-anak muda ini agar memiliki karakter pejuang. Menurutnya, yang datang inilah para pejuang itu karena peserta tidak mungkin mau datang jauh (bahkan ada dari Kabupaten Negara-2 jam dari Singaraja!). Ia mampu memikat adik-adik muda ini. Putrini tak kalah serunya. Ia mampu mengajak kawan-kawan untuk berdiri sebentar dan bergerak. Mirip Mario Teguh saja hehehe… Ia memberi contoh konkrit akan mimpinya ke Amerika dan berbagai negara bagian yang tak pernah ia berani pikirkan sebelumnya. Saya sendiri merasa cukup menyimpulkan karena berbagai motivasi dan cara berjuang mencari beasiswa sudah banyak disampaikan sebelumnya. Sama seperti kawan-kawan saya, saat ini hanya motivasi, inspirasi dan pengalaman yang bisa kami berikan. Selanjutnya akan bergantung pada usaha dan doa masing-masing.
Menggagas Forum Beasiswa
Agar kegiatan ini berkesinambungan, kami berinisiatif membentuk semacam forum beasiswa bagi kawan-kawan muda di daerah Bali. Tujuannya sederhana, hanya ingin agar ada rumah bersama dimana semua kawan bisa berbagi, bertanya dan mencari informasi atau penjelasan. Saya yakin, dengan ini potensi anak-anak muda, khususnya Bali akan lebih baik tersalurkan. Semangat mereka semakin berkobar karena melihat contoh nyata. Mereka kembali bangkit dan memiliki opsi karena pembicara datang dengan pengalaman di berbagai benua. Meski demikian, sifatnya akan semi-fluid agar tidak menggangu kegiatan utama masing-masing. Bisa dilihat di sini. Silahkan hubungi saya untuk kata kunci masuknya. Tak lupa, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan kawan-kawan yang akan berangkat atau sedang studi yang tidak bisa datang. Ada sahabat Handijaya di Prancis, Ari Natarina di Amerika, Dwi Cahaya yang akan ke Jerman, Gde Arief di Amerika, Kadek Purnawan di Amerika, Bli Andi Arsana, tamatan Australia, Mas Faiz, Presiden PPIA dan PPI Dunia, kandidat PhD di Brisbane, Australia dan lainnya yang mungkin saya lewatkan. Mereka adalah contoh konkrit para pejuang pemberani. Semoga, apa yang dilakukan bisa bermanfaat. Yakinlah, kalau kita tak pernah menyerah, kita akan mampu mencapai tujuan yang dicita-citakan. Semoga.
Circle me @ +Made Hery Santosa
©mhsantosa (2014)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.
Thanks Roy. All the best for you! Stay in touch okay.
Best
Hery