
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan menjadi penerjemah suatu kegiatan jurnalisme. Kesempatan ini ditawarkan oleh Bu Cucu. Beliau adalah Subject Coordinator ketika saya mengajar bahasa Indonesia di LTU tahun 2009 lalu. Kegiatan ini adalah sebuah fellowship yang diterima oleh sebuah centre bernama Asia Pacific Journalism Centre (APJC) di Melbourne. Fellowship ‘dimenangkan’ oleh APJC dalam sebuah penulisan proposal. Dengan ini, lembaga ini bisa melakukan berbagai kegiatan.
Program yang mereka tawarkan dalam fellowship ini adalah memberi kesempatan kawan-kawan jurnalis muda dari berbagai kepulauan Pasifik dan Indonesia untuk melihat langsung berbagai tempat, utamanya yang berkaitan dengan pertambangan dan bagaimana Australia mengelola pertambangan mereka dari sisi hukum, kebijakan, jaminan sosial dan hal-hal terkait lainnya. Ada 11 kawan jurnalis. Mereka adalah Teviti (Fiji), Rickson (Salomon), Gabriel, Gynnie dan Mapun (PNG) dan Lovina, Zulfa, Achmad, Duma, Dian dan Tommy (Indonesia). Mereka masih muda – sama seperti saya heheh – enerjik dan rata-rata punya pengalaman jurnalis mendalam yang mereka mulai sejak di bangku kuliah. Beberapa di antaranya adalah editor. Pengalaman bekerja mereka di media bervariasi mulai dari 1 tahun sampai 4 tahun. Mungkin ada yang lebih. Kawan-kawan jurnalis ini tampak sangat paham dengan bidangnya, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sosial di aktivitas pertambangan.
Tugas utama saya adalah menerjemahkan baik dari Inggris ke Indonesia atau sebaliknya ke utamanya dua kawan jurnalis dari Indonesia. Menurut Deb, Program Manager APCJ, penerjemahan tidak terlalu urgen sifatnya karena kawan-kawan jurnalis sudah bisa mengerti dan berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Namun terjemahan akan diperlukan kalau menyangkut konteks. Awalnya saya tidak merasa yakin dengan kemampuan menerjemahkan saya. Jujur saja, meski saya sudah sering menerjemahkan berbagai kegiatan, kali ini adalah tentang jurnalisme dan pertambangan. Bahkan ada interpretasi angka-angka disana. Sangat teknikal juga kontekstual. Tapi Bu Cucu meyakinkan saya kalau saya pasti bisa.
Saya kemudian harus menghubungi pihak APCJ dan tak lama mereka menghubungi saya. Sangat cepat dan profesional prosesnya. Saya perlu tekankan, profesionalisme adalah satu hal yang saya sangat sukai. Semua dokumen dikirim kemudian via email dan saya harus mempelajarinya dan besok pagi-pagi saya harus berada disana. Dengan Google Maps di iPhone, saya cari alamatnya dan memetakan perjalanan saya. Apakah saya harus naik bus, train atau tram. Berhenti di jalan apa, stop nomor berapa dan seterusnya. Aplikasi map di HP saya juga akan membantu jadi saya tidak khawatir akan tersesat. Pada hari yang dijadwalkan, saya sebelum jam yang ditentukan. Tempat ini tidak terlalu kelihatan seperti sebuah lembaga besar. Bahkan papan namanya cukup kecil. Sangat kontras dengan fellowship tingkat dunia yang mereka menangkan sebelumnya.
Setelah berkenalan dengan Direktur dan Manajer lainnya, saya berkenalan dengan Neroli, narasumber yang didatangkan dari Sydney. Ia telah memiliki pengalaman di dunia jurnalisme cukup lama dan bekerja di beberapa suratkabar ternama. Kebetulan, Neroli saat ini sedang PhD sehingga kami bisa berdiskusi berbagai hal akademis. Fokus risetnya adalah pendidikan bagi kaum imigran. Menarik sekali. Sampai sekarang, Neroli menjadi salah satu network penting saya. Bahkan beberapa waktu lalu, ia menghubungi saya tentang artikel yang ia terbitkan. Artikel tersebut bercerita mengenai situasi pengungsi, utamanya dari Afrika, Timur Tengah dan Myanmar, beradaptasi di tanah barunya (bisa dibaca di tautan ini).
Ketika narasumber presentasi, saya menemukan hal menarik. Selain menerjemahkan, saya juga belajar mengenai konteks jurnalisme dan perspektif. Dalam hal konteks jurnalisme, rasanya pengalaman ini tetap menambah wawasan jurnalistik saya. Sebelumnya, saya hanya terlibat di lingkup kecil dunia jurnalistik, misalnya mengelola publikasi kampus, seperti SWINS (Sepekan Warta Kampus), WARTA KAMPUS dan majalah berbahasa Inggris THE SPLASH. Dalam hal perspektif, pengalaman ini membuka wawasan berpikir. Saya melihat kawan-kawan jurnalis ini terbiasa menjadi ‘observer’ akan situasi-situasi yang sering dianggap minor oleh orang lain. Mata mereka tajam. Dengan ditunjang oleh sudut pandang yang lebih luas, goresan pena seorang jurnalis tentu akan lengkap. Hal ini berlaku sama pada seorang peneliti. Salah satu cara kerja sebuah riset adalah melakukan pengamatan tajam dan menyeluruh akan suatu hal yang disebut ‘hunch’. Hal ini sering dicari dengan membandingkan apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi di kenyataan. Hal ini sering disebut ‘gap’. Tapi yang paling penting dari aspek penelitian tentu memberi solusi.
Pengalaman bertemu dan terlibat dengan kawan-kawan jurnalis ini tentu sangat berkesan. Selain keramahan, saya belajar dan melihat mata-mata tajam pengamat isu sosial. Karena saya tetap lanjut berkawan dengan para jurnalis ini, saya bisa meresapi goresan-goresan mereka selanjutnya.
©mhsantosa (2014)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.
Saya setuju! Salah satu karakteristik dari peneliti bekerja seperti jurnalis yg mengobservasi dan menginterpretasi masalah dan idealisme. Lalu profesionalisme tinggi dalam melakukannya.Dan yg terpenting solusi yg diajukan dan dampak penelitiannya.
Artikel yg sederhana dan menarik. Thanks for sharing bro!
Makasi sudah baca ya Bro Steven, saling mengasah diri yukk 🙂
Keep penning ya