
Meledak-ledak. Itulah kesan saya pertama ketika mengikuti presentasi Gary Foley, seorang tokoh pejuang aborigin. Saat itu, saya sedang mengikuti workshop tentang Anti-Racism di sebuah Intercultural Center di daerah Darebin, dekat rumah saya. Kegiatan ini dilakukan tanpa pungutan biaya. Lagi-lagi, saya menemukannya di Eventbrite, sebuah website cerdas untuk menemukan atau membuat sebuah event. Sejak saya tahu Eventbrite, saya banyak memilih berbagai macam kegiatan yang bahkan jauh dari apa yang saya dalami semata-mata untuk belajar dan membuka wawasan. Selain training dan workshop gratis di kampus, kegiatan-kegiatan sejenis di luar kampus juga banyak yang bermanfaat.
Workshop ini dipandu oleh tiga orang saja. Muda-muda. Dan ini cukup. Salah satunya sedang PhD. Saya amati, sistem bekerja yang mereka lakukan ini menganut paham efektifitas dan efesiensi. Kadang tidak harus banyak orang untuk menjalankan sebuah kegiatan dengan sukses. Peserta workshop ini berasal dari orang-orang yang tinggal di sekitar area itu. Biasanya berasal dari berbagai ras dengan latar belakang budaya yang beragam. Karenanya, isu-isu rasisme dan diskriminasi sensitif sehingga menjadi sangat penting. Penting karena kita harus mengetahui konsepnya dan bagaimana menghadapinya jika terjadi, entah pada diri sendiri atau orang lain. Ada beberapa sesi dalam workshop ini. Banyak tokoh dari berbagai latar belakang dan pihak diundang untuk presentasi. Salah satu yang sangat berkesan bagi saya adalah presentasi dari pejuang Aborigin ini, Gary Foley.
Seperti kebanyakan orang Aborigin, ia memiliki ciri kulit gelap. Yang membedakannya adalah, wawasan. Gary mengalami perjalanan panjang untuk memperoleh wawasan; untuk menuntut ilmu. Saat itu, pendudukan Australia oleh kaum imigran – orang kulit putih yang datang dari kawasan Britania dan Eropa lainnya mulai gencar. Imigran ini umumnya adalah kriminal yang diasingkan jauh dari kawasan Britania Raya dan benua terbesar di dunia ini dipandang cocok sebagai tempat pengasingan. Kebetulan juga bahwa Australia adalah daerah persemakmuran Inggris. Lambat laun, kawasan ini mulai mendapat pengaruh ‘barat’ atau ‘kulit putih’ sehingga orang-orang asli suku Aborigin mulai terpinggirkan mulai dari kesempatan hidup layak dan wilayah.
Tahun 1965, ketika Gary berumur 15 tahun, ia sempat mengecap sekolah dasar. Saat itu hanya ada 3 orang Aborigin yang bersekolah disana. Ia sempat berfoto dengan kawan-kawan sebayanya. Dari foto tersebut, ia bisa dengan mudah ditemukan. Ya, ia satu-satunya yang ‘berwarna’ disana. Saat itu, kaumnya sangat ‘visible’ saat itu karena hanya sedikit yang bisa berada di komunitas kulit putih sehingga sangat gampang ‘terlihat’. Namun itu adalah foto terakhirnya. Ia cuma bertahan sekitar 6 bulan. Karena selanjutnya ia secara khusus ia dianjurkan oleh Kepala Sekolahnya untuk tidak kembali ke sekolah tahun depan. Meski ia protes, ia cukup pintar untuk paham bahwa hal itu disebabkan karena ia berbeda. Ia Aborigin. “Because I’m black,” katanya. Hatinya sesak. Rasa percaya dirinya hancur. Ia terpaksa harus keluar dan mengubur mimpinya untuk bersekolah saat itu. Ia kembali ke rumah dan harus menunggu puluhan tahun untuk bisa kembali belajar.
Adalah Charles Perkins, orang Aborigin pertama yang lulus dari University of Sydney sekitar tahun 1966 yang kemudian mulai merubah situasi ini. Memang jauh terlambat dari situasi serupa di belahan dunia lain. Misalnya, Amerika sudah memulai gerakan perlawanan suku asli sejak 1889, Canada sejak tahun 1865 dan New Zealand sejak tahun 1899. Perkins mulai dengan gerakan Student Association for Aborigines (SAFA). Aksinya yang terkenal adalah “Freedom Ride” dimana Perkins dan kawan-kawannya menaiki sebuah bus untuk mengkampanyekan hak-hak kaum Aborigin yang lebih bermartabat. Berikut ini adalah rekaman cerita Perkins mengenai perjalanan bus Freedom Ride.
Perkins juga pernah mencoba mengajak seorang anak kecil berumur 10 tahun bernama Martin pergi ke sebuah gedung film di tempat tinggalnya, Bowraville, NSW. Namun, saat itu mereka ditolak masuk karena si pemilik gedung tidak berani akan dampak yang mungkin timbul adanya orang kulit hitam dan anak kulit putih duduk berdampingan menonton film. Bahkan gedung tersebut memilih tutup, bukan berefleksi. Baru 40 tahun kemudian di tahun 2005 ketika Martin berumur 50 tahun, ia diundang pembukaan kembali gedung film tersebut. Bahkan ia didaulat untuk meresmikannya. Ini terjadi ketika pemerintah Australia sudah memiliki kebijakan yang mulai mengakomodasi kaum asli benua ini.
Meski mengalami banyak tantangan, perlahan-lahan gerakan Perkins meluas dan memberi efek. Gary muda juga kemudian banyak terlibat gerakan-gerakan perjuangan ini. Ia bahkan sampai menjadi kepala kurator Melbourne Museum. Ia adalah orang Aborigin pertama yang menjadi kurator ini. Hal ini juga kemudian memberinya keleluasaan untuk melihat arsip nasional karena sebelumnya orang Aborigin dilarang untuk melihat bagaimana orang Aborigin didokumentasikan; dipersepsikan oleh kaum lain. Ia lantas menemukan, tak banyak dokumen tentang Aborigin atau bahkan banyak dokumen yang salah persepsi mengenai kaum Aborigin. Disinilah ia kemudian ia lebih termotivasi memperjuangkan kaum Aborigin yang memang saat ini (mungkin sampai sekarang) sangat tertindas. Ia juga mencoba menempuh pendidikan. Tiga puluh tahun adalah waktu yang ia perlukan kemudian untuk memperoleh jenjang keilmuan tertinggi, PhD. Ia harus menunggu sekian lama untuk menjadi pemegang gelar prestisius ini. Dalam karirnya, ia menjadi penulis tetap di Tracker Magazine dan kerap bersuara lantang dan keras khususnya ketika berbicara mengenai perjuangan kaumnya.
Semua ini ia sampaikan dengan cerdas dalam presentasinya. Ia tidak berusaha menggiring opini dengan mengangkat beberapa kisahnya dalam topik rasisme kali ini. Ia dengan cermat – dengan kerangka kronologis – membawa peserta workshop masuk ke dunia yang ia bahas. Ia sering menggunakan tampilan visual, seperti foto, gambar atau video. Ia juga menggunakan kalimat-kalimat pendek dan memberi highlight yang kontras untuk penekanan. Menurut saya, ini ciri presentasi yang ‘engaging’. Ia sering sekali menggunakan kata ‘folks’ untuk menyapa audiens. Saya amati, dengan ini ia berusaha berpikir kolegial – sama rata. Sehingga apa yang ia sampaikan dengan mudah bisa diterima karena semua orang merasa sama.
Setelah presentasi, saya sempatkan berbicara dengannya ketika makan siang. Dengan menikmati menu ala Yunani – daging kambing panggang, salad ala Yunani dengan dressing olive oil yang lezat dan lainnya – saya menyapa Gary dan berkata bahwa presentasinya mengagumkan. Ia tersenyum dan kami mulai berbincang. Ketika saya katakan bahwa saya juga sedang PhD, ia semakin bersemangat untuk bercerita bagaimana ia berjuang untuk menuntut ilmu ke jenjang ini. Dari sudut pandang akademis, kami biasanya akan merasa ‘senasib’ karena paham bagaimana perjalanan melakukan riset yang menarik ini :).
Bagi saya, adalah suatu keberuntungan bisa bertemu, berbincang bahkan berkawan dengannya. Selain belajar gaya presentasinya yang memukau dan engaging tadi, saya belajar determinasi yang tak pernah padam dari Gary. Ia sudah pernah ditangkap, dipenjara, dan pengalaman buruk lainnya, tapi ia tetap bisa menunjukkan kualitas diri dan pemikirannya. Ia sudah pernah menjadi kurator senior, dosen dan tutor di beberapa universitas di Melbourne. Tidak jarang, ia berani protes bahkan mundur dari posisinya kalau hak-haknya atau perjuangan akan kaumnya tidak mampu diakomodasi dengan baik. Tentu saja, protesnya berdasarkan hukum dan dalil kebenaran konstitusi.
Satu pesan yang saya ingat darinya, “Kalau kamu memutuskan akan masuk media (di negaramu) – suratkabar, radio atau TV – make sure kamu sudah terlihat cool saat itu. Tiga puluh tahun setelahnya, kamu tetap bisa menatap image dirimu dengan penuh kebanggaan.” Saya tersenyum. Saya tahu, ia merujuk pada beberapa gambar yang ia tunjukkan ketika presentasi tadi. Saat itu, ia sering diikuti orang (mata-mata negara) terkait aktivitas perjuangan membela kaumnya. Foto-foto yang dirilis memperlihatkan bagaimana ia – yang saat itu masih muda, ramping, berambut panjang dan berkacamata – tampil sangat cool ketika memasuki gedung arsip nasional di Canberra atau mall yang saat itu terlarang bagi kaumnya. Benar, ia memang tampak cool saat itu, sama seperti saat ini ketika ia dan saya berbincang di sebuah meja bulat di pojok ruangan menikmati makan siang lezat kami.
P.S Untuk mengetahui lebih banyak tentang Gary Foley, silahkan berkunjung ke tautan ini dan ini.
Tulisan ini saya buat atas interpretasi saya semata. Jika ada koreksi, harap menghubungi saya di email mhsantosa@hotmail.com. Terima kasih.
©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.