
Seorang gadis muda bermata sipit tampak bersiap-siap. Ia membawa sebuah tas panjang besar. Sepertinya pemusik. Atau penyanyi. Saya awalnya membayangkan itu adalah keyboard dan ia mungkin akan bermain keyboard dan/ atau menyanyi. Ternyata saya salah.
Saat itu adalah acara bertema budaya Cina. Saya mendapatkan informasi ini dari Eventbrite, sebuah platform yang menurut saya cerdas, untuk menyebarkan informasi mengenai sebuah event berdasar kategori yang kita pilih. Saya bahkan yakin, saya bisa memanfaatkannya nanti. Acara ini digelar di sebuah intercultural center di dekat rumah saya. Sejak beberapa tahun ini, saya suka mendalami isu-isu universalitas, kemajemukan dan pola pikir open-minded; terbuka akan perbedaan. Saya menikmati bagaimana kawan-kawan yang sepandangan – saya istilahkan dengan like-minded – mampu memberi kesejukan dan rasa damai, tanpa harus memaksakan kehendak, kepercayaan, pemikiran dan lain-lain tertentu tanpa mengetahui perspektif lainnya. Menurut saya, secara sederhana, toleransi itu berarti saling memahami, bukan hanya sepihak.
Anyway, kembali ke tulisan kali ini. Banyak orang dari berbagai latar belakang datang ke acara ini. Saya sendiri datang bersama kawan saya dari Cina, namanya Wang. Sebelumnya saya bilang kepada Wang kalau saya mungkin akan berbeda sendirian karena akan banyak orang Cina yang datang. Ternyata, saya salah. Yang datang malah banyak orang-orang dari Yunani, India dan Eropa; lebih banyak daripada orang Cina. Saya melihat, inilah yang namanya multicultural – dimana orang berbeda latar belakang, entah agama, kepercayaan (atau bahkan atheis), kebiasaan, bahasa, prilaku budaya dan lain-lain – berkumpul jadi satu dalam keseragaman; satu senyum persahabatan.
Di luar ruangan ada berbagai display, mulai dari buku, kerajinan, lukisan, tulisan tangan dan lain-lain tampak memukau saya. Wang beberapa kali harus menjelaskan hal-hal menarik kepada saya. Namun saya mengerti ia juga ingin membuka networking dengan orang-orang Cina lainnya sehingga kadang saya biarkan – bahkan sering saya dorong – untuk berkenalan dengan kawan-kawan baru. Apalagi kemudian kami ketahui bahwa kegiatan ini dilakukan oleh Chinese Center dari kampus kami. Ini menjadi penting karena dengan berkawan dan bertukar pikiran, kita bisa membuka wawasan, bahkan kesempatan.
Ketika Wang sudah mulai sibuk dengan kawan-kawan barunya, sayapun juga mencari teman-teman baru dengan latar belakang sangat berbeda untuk bertukar pengalaman. Beberapa orang ternyata adalah Profesor di kajian budaya Cina. Menarik sekali. Saya bertanya beberapa hal, seperti lukisan ‘gaya’ Cina (kemudian saya sempat mengikuti workshop melukis ini dan punya ‘hasil karya’ sendiri yang tidak terlalu jelek, haha) dan tulisan tangan Cina. Sangat luwes dan artistik. Saya amati, budaya timur – Cina dan Bali termasuk didalamnya – sangat memperhatikan detil. Lihatlah patung atau pahatan dari Bali di daerah Sukawati misalnya, semua sangat detil, menyerupai aslinya. Sedangkan ‘arts’ di dunia barat lebih abstrak, lebih pada esensi. Ini saya cermati kemudian dalam hal bagaimana orang Timur dan Barat memandang sesuatu; mengekspresikan sesuatu.
Setelah cukup melihat berbagai display, kami kemudian masuk ke dalam ruangan lagi. Si gadis Cina tadi sudah mengeluarkan isi tas besar yang tadi ia bawa. Ternyata itu sebuah benda yang saya pernah lihat tapi tidak saya ketahui namanya. Benda itu semacam harpa, namun posisi memainkannya bukan berdiri seperti harpa (atau cello), tapi ‘ditidurkan’ dan kemudian dipetik. Saya tanya kawan saya Wang dan ia bilang bahwa itu namanya Guzheng, dalam bahasa Cina. Kemudian ia tunjukkan gambar dari iPad mininya apa itu Guzheng, karena ia sendiri tidak tahu bahasa Inggris Guzheng. Saya sendiri mulai bersemangat menunggu pertunjukkan Guzheng ini. Selama ini, saya hanya bisa melihat di film-film Kung Fu saja – yang saya ingat di film Kung Fu Hustle, sebuah film komedi aksi dari aktor kawakan Stephen Chow. Setelah beberapa kegiatan, tibalah pementasan Guzheng ini.
O ya, sebelum saya bercerita tentang sesi pertunjukkan Guzheng, saya melihat beberapa sesi acara sebelumnya dilakukan dengan cukup baik. Satu orang yang merupakan kepala intercultural center kajian Cina cukup meng-handle hampir semua kegiatan. Ia menjadi MC, memberi sambutan, presentasi, mengenalkan si ini dan si itu, melakukan sesuatu here and there, sendirian saja. Tidak perlu berbanyak. Tetap ada memang orang-orang lain yang membantunya di seksi lain yang kira-kira masih diperlukan., misal fotografer. Menurut saya, ini harus dilihat bukanlah sebagai ‘a one man’s show thing’ tapi sebagai ciri efektifitas sebuah kegiatan dilakukan.
Si gadis Cina, yang kemudian dikenalkan bernama Qiu, tampak bersiap-siap. Ia adalah seorang mahasiswa Bachelor di bidang Accounting. Cukup strategis bidang ilmu yang ia ambil. Kita tahu, Accounting adalah salah satu bidang penting di dunia global saat ini. Dalam hal bermain Guzheng, ia ternyata sudah sering mewakili Cina dan sempat menembus 10 besar tingkat dunia dalam suatu lomba yang diadakan di Singapura. Kalau saya analogikan dengan konteks di Bali, ini adalah suatu keuntungan jika kita bisa menguasai tarian atau gamelan Bali sehingga kita bisa pentaskan di dunia luar.
Tibalah kemudian saatnya ia bermain. Oleh MC, kami semua diminta hening, bahkan kalau bisa memejamkan mata agar bisa menghayati alunan petikan si jelita Qiu. Ia memasang alat pemetik, semacam kuku artifisial di semua jarinya. Ia mulai memetik Guzhengnya. Perlahan, lembut. Dentingan senar Guzheng mulai terdengar. Mengalun. Lambat laun, ia mulai cepat. Tegas. Saya menikmati sekali permainannya. Sambil mendengarkan, saya browsing informasi tentang Guzheng ini dari HP saya. Senar Guzheng ini berjumlah 18 – 25 yang bisa diatur setelannya. Mirip gitar. Saya jadi ingat dulu sempat mencoba menekuni gitar tapi menemukan diri saya kurang berbakat dan beralih ke drum. Tak salah kalau saya bilang rasanya semua ini adalah masalah ketekunan dan bakat.
Cukup lama Qiu bermain. Karena saya tak mau kehilangan moment bagus ini, saya putuskan untuk merekam permainannya yang memukau ini. Saya hidupkan recorder di HP saya sambil menikmati petikan-petikan halus lembut kadang tegas. Orang-orang terhanyut, ada yang memejamkan mata, ada yang memandang untuk lebih jelas melihat permainan si jelita ini. Rekamannya (harap maklum dengan kualitasnya) bisa didengar di bawah ini.
Ketika satu lagu selesai, semua orang riuh bertepuk tangan. Saya sendiri kagum. Permainannya mempesona. Artistik. Penuh bakat. Tanpa ragu, Qiu menawarkan apakah kami mau mendengarkan ia bermain sekali lagi. Tampaknya satu lagu belum cukup baginya. Satu lagu baru pemanasan saja. Sebagai seniman atau penikmat seni, melakukan pertunjukkan seni adalah ‘trance’ – kadang kita bisa hanyut didalamnya namun tak tenggelam. Kamipun dengan senang hati mengangguk senang. Mulailah Qiu memetik Guzhengnya gemulai. Lagu kedua ini saya rekam lengkap dan bisa didengar di tautan berikut ini.
Mengesankan! Kami semua bertepuk tangan dengan riuh kembali. Benar-benar mempesona. Si jelita Qiu telah membius kami semua ke alunan gemulai Guzheng. Ke derap-derap langkah yang meledak-ledak. Kemudian kembali lagi ke lantunan yang ‘menyerah’ pada kuasa alam. Seperti pertunjukkan Tai Chi yang saya tonton setelah pementasan Guzheng ini. Keduanya merupakan pertunjukkan akan Ying dan Yang. Atau Rwa Bhineda dalam konsep Hindu Bali. Keseimbangan.
©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.
One thought on “Qiu, Jelita Pemetik Guzheng”