“Bersama Hassan, aku berjalan menyusuri pesisir pantai Kuta, Bali. Hari itu, kami hanya berdiam diri di hotel sepanjang hari. Baru ketika matahari mulai agak turun, Hassan dan aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar hotel tempat kami menginap. Sepanjang pantai, banyak sekali orang-orang, entah siapa, menghampiri kami. Mereka membisikkan ‘Hashish, hashish’ atau ‘Do you want some hashish?’ sambil memepetkan badannya ke kami. Beberapa wanita cantik tanpa malu-malu menawarkan jasa one-night stand. Aku merasa agak kurang nyaman karenanya.”
Hari sudah senja. Hujan yang turun sejak malam kemarin membuat pohon-pohon maple di Alexandria garden menjadi basah. Musim semi tidak terasa hari ini. Saya dan Kharim, kawan saya dari Qatar, sedang asyik menikmati segelas strong latte dan toasted banana and walnut bread di sebuah bangku taman. Kami berjanji sebelumnya untuk bertemu dan ngobrol. Rasanya sudah lama kami tidak bertemu sehingga sekarang banyak cerita yang ingin kami bagi satu sama lain.
Kami duduk berhadapan. Kharim tampak serius menceritakan pengalaman ini ketika ke Bali beberapa waktu lalu.
“Well, did you get one of those?” saya bertanya, sambil menyeruput latte yang masih panas, cocok sekali menghangatkan badan di musim kali ini.
“Of course no, brother!” katanya sambil tertawa.
Saya tersenyum. Sebagai orang Bali, saya kadang malu begitu banyaknya hal-hal terjadi (berkembang), utamanya yang kurang membuat nyaman, di daerah saya.
“Aku kemudian terus berjalan. Hassan sedikit melambat. Ia masih terpana akan sunset di pantai Kuta. Ia mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan,” kata Kharim.
“Masih baguskah sunset di pantai Kuta?” tanya saya.
“Beautiful!” ia langsung menjawab dengan sumringah.
“Ketika kami sedang berjalan, tiba-tiba mataku tertumbuk pada dua anak kecil. Mungkin sekitar 8 dan 5 tahun. Mereka asyik mencari botol plastik bekas minuman. Mereka tersenyum ketika aku masih terpana memandang mereka. Aku tiba-tiba teringat anakku.” Kharim berkata. Suaranya agak serak kemudian.
“Ya, benar,” kataku pendek. Aku mengerti perasaannya. Anak kembarnya ada di Qatar.
“Aku ingat sebelum berangkat ke Bali lalu, aku banyak bertanya padamu.”
“Ya,” saya mengangguk. “Apa yang kamu lakukan kemudian?” saya bertanya lagi.
“Well, aku tersenyum ke mereka. Mendekati mereka. Dan bertanya. Aku melihat mereka lelah. Di samping mereka, karung berisi botol-botol plastik sudah terkumpul sebagian. Aku menjadi sangat tersentuh.” Ia melanjutkan ceritanya.
Ia diam beberapa saat.
Saya biarkan ia diam.
“Aku kemudian memanggil salah satu dari mereka. Tersenyum, mereka menghampiriku. Dengan terbata, mereka menyapaku “Hello Mister!” Ceria sekali. Aku tidak tahu apa mereka benar-benar seceria itu. Aku hanya ingat, senyum mereka tulus.” Kharim melanjutkan kembali. Pelan.
“Menarik,” kata saya kemudian. “Banyak ada yang seperti mereka. Tapi benar, senyum anak kecil pasti begitu.” Tanpa sadar, saya teringat dengan senyum Rachela, anak perempuan saya. Sebentar lagi, ia akan berusia 3 tahun dan saya masih belum bisa menemaninya.
“Ya, benar. Aku langsung teringat anak kembarku. Mereka juga sering tersenyum seperti itu, meski kadang nakal juga.” Tersenyum, ia menerawang.
“Aku kemudian merogoh kantong celanaku. Aku panggil mereka mendekat dan menyuruh mereka mengulurkan tangan. Aku genggam tangan mungil itu, dan menyisipkan selembar uang berwarna merah.” Suara Kharim tambah serak.
Itu uang seratus ribuan.
“Apa itu terlalu banyak?” tanyanya.
Saya tersenyum, uang tersebut tentu sangat berarti bagi kedua anak pengumpul botol bekas tersebut. Bisa untuk bekal mereka selama beberapa minggu, jika digunakan dengan benar.
“Tidak,” saya putuskan menjawab sebaliknya sambil menepuk punggungnya hangat.
“Aku terus teringat anak-anak itu. Masih jelas, ketika anak itu membuka genggaman tangannya, ia sungguh terkesiap. Mulutnya terbuka lebar. Matanya terbelalak lebar. Tangannya kemudian menggosok kepalanya yang aku yakin tidak gatal. Pemandangan itu sungguh menyejukkanku. Tak terlupakan,” kata Kharim.
Matanya memerah. Menangis.
Ia kemudian mengusap air matanya.
Saya biarkan. Saya tetap tersenyum hangat dan berkata, “Apa yang kamu lakukan sudah yang terbaik, kawan. Tuhan pasti akan membalas orang berbudi sepertimu,” saya memeluknya. Hangat.
P.S. Untuk putri saya, Rachela yang berulang tahun ke-3 hari ini. Selamat ulang tahun, terima kasih sudah mengerti, Nak.
“Children aren’t coloring book. You don’t get to fill them with your favorite colors” (Rahim Khan to Baba, from The Kite Runner by Khaled Hosseini).
©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.
Ini fiksi atau kisah nyata ya? Tapi apapun itu, ceritanya menarik..
Hi, popok bayi, ini agak campuran, meski saya bebaskan saja bagi kawan pembaca. Makasi ya sudah baca 🙂