Mengejar Merlion

Marina Bay - MerlionSetelah tujuh jam di udara, saya turun di Terminal 1 bandara Changi, Singapura. Pesawat berjenis Airbus yang membawa saya kali ini berangkat di pagi hari dari Tullamarine, Melbourne. Namun, langit masih sangat gelap kala itu. Meski menjelang musim panas, cuaca selalu tak menentu. Setelah turun, saya mendapati langit Singapura yang juga sudah mulai gelap. Tidak banyak yang bisa saya lakukan karenanya. Saya sudah harus bergegas menuju pesawat berikutnya yang akan membawa saya ke Ho Chi Minh. Teman saya yang sudah seperti saudara, Tin, menunggu di bandara Tan Son Nhat.

Sebelum saya berangkat, saya menghubungi Yuyun. Ia adalah salah satu mahasiswi pintar yang pernah saya ajar. Yuyun kemudian menjadi pramugari Singapore Airlines dan menetap di negara maju ini. Saya bertanya apakah ada kemungkinan bertemu jika ia tidak terbang. Ia beberapa kali mengunjungi saya dan keluarga di Melbourne ketika ia ada jadwal terbang ke tempat kami. Kebetulan, ia sahabat baik Manik, istri saya. Namun sayang sekali, ia tidak bisa. Kepada saya, ia menawarkan Free Bus Service keluar bandara untuk berjalan-jalan di kota jika waktu transit memungkinkan. Saya kemudian membuka tautan yang diberikan dan mempelajari kemungkinan berjalan-jalan keluar Changi. Saya bersyukur dengan berbagai pengalaman sebelumnya membuat saya menjadi terbiasa mencari informasi dengan cepat, mengatur yang diperlukan, semua yang sifatnya agar efesien dan efektif.

Setelah mempelajari segala kemungkinan, saya melihat sedikit waktu senggang bisa saya gunakan keluar Changi ketika saya pulang dari Ho Chi Minh menuju Bali. Enam jam. Meski sedikit mepet, tidak ada salahnya dicoba. Setelah kegiatan yang lancar, pertemanan yang inspiratif dengan orang-orang baru, sampai cerita kecurian, saya kembali menaiki pesawat menuju Changi. Pagi-pagi saya sudah bersiap. Kemudian makan pagi di hotel tempat saya menginap. Pembayaran sudah saya selesaikan kemarin malam sehingga tidak direpotkan lagi oleh hal tersebut. Setelah mengucapkan terima kasih, saya berjalan keluar dan meminta salah satu taksi yang stand by untuk mengantar saya ke bandara Tan Son Nhat.

Suasana lalu lintas di Ho Chi Minh ini benar-benar membuat jantung berdebar. Banyak sekali motor yang seakan berpacu beradu dengan mobil. Saya ingat hari pertama saya berjalan menuju tempat konferensi, saya berkeringat dingin, hanya untuk menyeberang jalan! Sebenarnya suasananya mirip-mirip Bali (atau Jakarta, Surabaya, Makasar), padat, panas, jarang ada pemotor yang mau mengalah. Tapi setelah sekian lama saya ‘terbiasa’ dengan suasana teratur (dalam perspektif berlalu lintas) di Melbourne, entah kenapa tubuh dan pikiran ini tidak sinkron lagi. Bedanya dengan Bali atau tempat-tempat lain di Indonesia, mungkin, pada saat ketika kita menyeberang, pemotor yang meliuk-liuk menghindari penyeberang jalan. Ha!

Sopir taksi yang saya tumpangi tentu sudah mahir. Dengan setir di kiri, seperti di Eropa, ia melaju perlahan-lahan menuju bandara. Setelah satu jam, saya sampai. Saya kemudian membayar dengan uang Dong yang memang saya masih sisakan. Bandara tampak sepi. Mungkin karena masih pagi. Saya berbaris untuk check in dan menyelesaikan semua urusan dengan cepat. Saya juga melalui proses di bagian imigrasi dengan tidak ada halangan berarti. Saya kemudian menuju gate tempat pesawat yang akan membawa saya ke Changi. Karena masih ada banyak waktu, saya melihat-lihat bagian souvenir mencari sedikit oleh-oleh.

Panggilan kepada penumpangpun diperdengarkan. Saya bersiap. Saya tidak membawa banyak barang. Hanya satu tas punggung, backpacker saja. Setelah dua jam, saya sampai di Changi. Perjalanan kali ini lebih lancar daripada keberangkatan saya dari Changi ke Ho Chi Minh dimana saat itu, pesawat ada sedikit kendala teknis. Saya kemudian mencari booth tempat Free City Tour itu. Perlu diingat, bandara Changi ini luas sekali, dan juga terbaik seluruh dunia. Jarak satu terminal ke terminal yang lain lumayan jauh, karenanya sky train disediakan. Mode transport antar terminal ini sangat nyaman. Sangat diperlukan di bandara-bandara luas. Aerotrain di Kuala Lumpur, misalnya, juga berfungsi sejenis. Sesampainya saya di booth, saya ragu. Di notice Free City Tour Booth ini dikatakan setidaknya penumpang punya waktu sekitar 8 jam untuk amannya. Tapi saya memberanikan diri untuk bertanya. Tanpa berkata apa-apa, petugas menerima dan sayapun harus menunggu. Disinilah perjalanan ‘mengejar’ Merlion dimulai. Apa saja yang terjadi? Apakah perjalanan ini berjalan mulus? Silahkan baca lebih lanjut ya.

Saya diminta kembali 20 menit lagi oleh petugas di samping booth. Kalau terlambat, ditinggal. Disini saya lihat, disiplin waktu penting. Sesuatu yang bagus. Karena saya masih punya waktu, saya pikir saya akan berjalan-jalan saja di sekitar tempat ini, sambil melihat-lihat taman-taman yang cantik yang ada di dalam bandara ini. Ada taman kaktus, kupu-kupu, anggrek juga kolam ikan koi yang menarik. Saat itulah, saya melihat seseorang mengisi formulir juga. Ia mengeluarkan paspor dan saya melihat visanya berwarna sama (saat itu masih berbentuk label visa, bukan e-visa) dengan saya. Saya tahu, ia juga akan menuju atau sudah keluar dari Australia. Setelah ia selesai mengisi formulir, saya menyapa dengan merujuk pada visanya. Ia mengiyakan. Ia rupanya sedang studi di Swinburne University, di Melbourne juga. Kamipun berkenalan. Namanya Pranav.

Karena kami adalah pendaftar terakhir untuk jadwal tur ini, kami memutuskan untuk berjalan di tempat yang dekat saja. Kami pergi untuk minum kopi di kafe di food court dekat sana. Karena saya belum menukar uang ke Singapore Dollar, Pranav dengan senang hati menawarkan untuk membayar segelas Machiatto yang saya beli. Saya bilang, saya akan menggantinya nanti. Di Changi, kartu kredit juga diterima, langsung disesuaikan dengan mata uang yang digunakan. Atau kita bisa mendapatkan uang dengan menggunakan mesin ATM yang ada di bandara. Hanya tinggal memasukkan jumlah uang yang kita inginkan. Ini praktis sekali.

Setelah minum kopi dan berbincang, kami kemudian menuju booth tempat free tour ini akan dilakukan. Sudah ada beberapa orang lain yang berkumpul disana. Karena saya sendirian, bertemu teman baru seperjalanan tentu mengasyikkan. Kami kemudian diminta menuju booth lain di Terminal 2. Untuk itu, saya dan Pranav harus naik sky train lagi. Semuanya serba sendiri, yang terpenting semua yang terdaftar harus berkumpul 30 menit lagi di tempat yang ditentukan. Ditunjang dengan sarana dan informasi jelas, semua bisa dilakukan dengan relatif mudah. Kalau tersesat, bisa bertanya.

Di dalam sky train, saya berdiri di dekat jendela depan sehingga saya bisa melihat pemandangan keluar. Semua tertata rapi. Setelah sampai, kami bergegas menuju booth yang dimaksud. Disana, kami diberi stiker untuk ditempel di bagian dada agar mudah dikenali. Setelah 10 menit, kami diarahkan berjalan keluar, namun setelah melewati pintu imigrasi. Dengan menunjukkan formulir untuk free tour, paspor saya dicap dan semua terlewati dengan lancar. Setelah semua rombongan selesai, kami bersama-sama berjalan menuju bis yang telah disediakan di area parkir.

Bis ini cukup besar, dan ber-AC. Suasana Singapura tentu sama dengan Indonesia, jadi cukup panas di siang hari ini. Bus keluar area bandara melintasi rumah-rumah susun yang tertata rapi di kanan jalan. Rusun-rusun ini diperuntukkan bagi para pekerja, cukup efektif menekan kepadatan perumahan dan mode transportasi. Di sebelah kiri, pantai yang membentang luas. Singapura adalah negara kecil, jadi sisi lautnya terlihat jelas. Perlahan-lahan, bis melaju, melewati Raffles Hotel, salah satu ikon Singapura yang terkenal. Nama hotel ini diambil dari Stamford Raffles, pendiri kota modern Singapura. Bis melaju lagi dan kami bisa melihat dari kejauhan, Marina Bay.

Marina BayPranav sibuk dengan kamera DSLR-nya. Ia bilang, nanti foto-foto akan dikirim ke email saya. Kamera yang saya bawa adalah kamera pocket biasa, jadi saya iyakan saja. Meski begitu, saya tetap mengambil beberapa gambar untuk tambahan. Kami sampai di Marina Bay dan bis berhenti di seberang Fullerton hotel. Oleh pemandu, kami diberi waktu 30 menit untuk menikmati area sekitar, termasuk patung Merlion. Semua diharapkan kembali tepat waktu karena jika terlambat akan ditinggal. Semua penumpang turun dan berjalan ke arah patung Merlion yang terkenal itu; juga merupakan ikon negara ini. Ini sesuai dengan maksud saya ikut free tur ini. Sederhana saja, ikon ini sangat terkenal dan saya bersyukur bisa melihatnya langsung. Di sela-sela studi yang padat, tentu hal ini diperlukan.

Pranav dan saya berjalan bersama-sama. Kami saling memotret beberapa kali bergantian, untuk sekedar kenang-kenangan. Setelah dirasa cukup, kami berjalan balik. Sambil menyebrang jalan, kami melihat bis yang mengangkut kami tadi masih stand by. Sambil bercanda Pranav dan saya berjalan menuju bis yang parkir agak diujung jalan. Namun, apa yang terjadi? Setelah dekat, kami mengangkat kepala dan alangkah terkejutnya kami karena mendapati bis itu sudah tidak ada! Aneh sekali, baru satu menit lalu kami melihatnya, dan kami berjalan ke arahnya, tapi sekarang sudah tidak ada. Kami berpandangan. Tidak bisa berkata-kata sekian detik. Kami ditinggal oleh bis yang terus menuju beberapa tempat lain dan kemudian balik ke bandara.

Kami diam sejenak. Akhirnya, kami memutuskan akan naik taksi saja nanti. Untung saja, kami tidak terlalu panik. Saya pikir, yakin itu perlu :). Sekali lagi, karena saya tidak membawa uang Singapore dollar, Pranav berbaik hati membayar ongkos taksi ini. Kami melihat jam untuk cek in pesawat kami untuk bisa mengukur waktu berapa lama kami masih bisa menikmati suasana sekitar, berapa lama perjalanan dengan taksi, dan berapa lama proses di imigrasi. Saya tidak perlu check in pesawat lagi karena sudah saya lakukan sebelumnya. Karena masih ada waktu sekitar 45 menit, kami memutuskan berjalan-jalan di sekitar tempat ini.

Sungai di depan Fullerton hotel membentang kecoklatan. Sesekali perahu berisi wisatawan melintas. Kami melintas jembatan yang bertuliskan “P & W Magellan. 1868. Engineers. Glasgow.” Sepertinya jembatan ini didesain oleh dua orang Magellan di tahun 1868. Cukup lama, namun masih kokoh. Memang, kental sekali terasa peninggalan koloni Inggris di sini. Sama seperti di Singaraja, Bali, tempat lahir saya dimana banyak bangunan perkantoran (dulu, sebelum pembakaran masal ketika Megawati kalah oleh Gus Dur maju menjadi Presiden tahun 1999) merupakan peninggalan Belanda. Saat ini, yang tersisa mungkin hanya jembatan di pelabuhan Buleleng sebagai saksi peninggalan bekas penjajah itu di Singaraja.

Kami kemudian bergerak ke arah lobi Fullerton hotel untuk mencari taksi. Namun oleh petugas disana, dikatakan kalau taksi di hotel sudah punya jadwal tersendiri. Taksi umum harus dicari di jalan depan, sekitar satu menit dari lobi. Sambil berjalan, kami tetap bercerita dan tersenyum. Ini pengalaman unik. Kami sampai di booth taksi. Tak lama kemudian, taksi dengan sopir, seorang paruh baya, dengan ramah menyapa kami. Kamipun bergerak menuju bandara, keberangkatan internasional. Dalam perjalanan, kami bercakap-cakap dengan pengemudi ini. Ia bercerita bagaimana Singapura dulu dan sekarang. Siapa yang pernah menginap di hotel Marina Bay yang terkenal akan kolam di atasnya itu, dan berbagai hal menarik lainnya.

Tak sampai 30 menit, kami sampai di bandara kembali. Setelah membayar, Pranav dan saya bergegas masuk ke gerbang imigrasi. Saya menuju salah satu petugas, dan perasaan nyaman datang, ketika si petugas tersenyum ramah. Apalagi setelah membaca nama saya, ada kata ‘Santosa’ ia segera tahu saya memiliki ras Melayu – bisa Malaysia, Indonesia atau bahkan Singapura sendiri – dimana salah satu pulaunya, Sentosa island, ada disana. Ia menyapa saya dengan bahasa Melayu dan saya menjawab dengan sopan. Ia mengecap halaman paspor saya dan saya mengucapkan terima kasih.

Setelah Pranav selesai, kami berjalan bersama-sama mencari food court, karena perut kami lapar. Kamipun makan bareng. Setelah selesai, saya mengucapkan terima kasih yang banyak, karena ia sudah membantu banyak. Apalagi, saya juga mendapatkan pengalaman seru dan menarik ketika jalan bersamanya. Karena saya membawa laptop, saya langsung meminta file foto-foto yang ada di memory card kameranya, daripada menunggu lagi untuk dikirimkan via email. Apalagi saya akan berada di Bali selama beberapa hari sebelum kembali ke Melbourne lagi. Kita ketahui, internet di Bali dan Indonesia umumnya tidak cepat. Kamipun berpisah. Saya sudah harus bergegas menuju gate pesawat yang akan membawa saya ke Bali. Saya sudah kangen keluarga saya, terutama Manik dan Rachela yang telah tumbuh menjadi gadis kecil yang riang.

Tulisan ini bertujuan untuk merekam kisah perjalanan saya kala itu. Meski ditinggal bis, saya sudah cukup senang dengan pengalaman yang tidak terduga ini. Saya percaya, akan ada banyak kesempatan lainnya. Semoga bermanfaat dan tidak bosan membacanya ya, kawan! 🙂

©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.

4 thoughts on “Mengejar Merlion

    1. Made Hery Santosa says:

      Hi Dewi, makasi ya sudah baca.
      Nama Dewi masuk cerita saya? Wah kenapa tidak. Pasti, kalau ada kesempatan 🙂 Semoga sehat. Slm

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s