Kue Tart yang Bukan Aku Pesan

Angin pagi deru tak jemu
Monolog kasih hangat hati ramu nir semu

Kami menembus dingin pagi ini dengan mobil temanku. Enam potong daging kambing yang aku panggang kemarin malamnya aku sisihkan agar keluarga kecil sahabat baikku ini bisa mencicipinya. Diselingi smoke alarm yang berbunyi kencang, aku berharap ia enak – meski tidak bisa dibandingkan dengan temanku yang jago masak ini.

“Kami berdoa dulu ya Her,” kata temanku.

Darinya, doa meluncur dengan lancar, memberi hangat hati. Aku analogikan ini dengan ‘Monolog Kasih.’ Hari ini, kami memang akan menuju kebaktian. Aku sudah beberapa kali sebelumnya berada di dalam kegiatan seperti ini. Sebagian besar, karena aku diundang oleh teman-temanku. Namun, ini kali pertama dengan keluarga kecil ini. Agama yang berbeda bukanlah sesuatu yang mendasar karena aku selalu berusaha berpikiran terbuka dan universal.

“Makasi doanya Ben” ujarku padanya.

Disampingku, putri kecil mereka tertidur damai. Hari itu juga akan ada perayaan ulang tahun, yang jatuh seminggu sebelumnya, buatnya. Kue tart lezat telah disiapkan, meski bukan yang dipesan sebelumnya, kata sang Ibu.

“Gimana kalau kita beli capuccino dulu?,” kata temanku.
“Wah, ide yang bagus,” sahutku.

Kebetulan aku belum sarapan, hanya membawa beberapa apel, muesli bars dan termos tehku. Kami menikmati capuccino panas dan sepotong kue beraroma pisang dengan nikmatnya. Kebetulan sudah lama aku tidak makan pisang. Bukan karena apa-apa, harganya selangit saat ini; sebagai bagian kebijakan membantu petani pisang yang terkena dampak langsung banjir hebat yang terjadi beberapa waktu lalu. Suatu kebijakan yang patut ditiru rasanya.

Tepat jam 10.30, kami bersiap diri. Aku dikenalkan dengan beberapa teman yang menyambutku hangat. Kami berbincang ramah, penuh makna.

“So, you’re from Bali,” Roseline bertanya padaku.
“Yes, have you been there?,” tanyaku. Aku memang selalu bertanya demikian, karena aku tahu Bali tetap menjadi tempat pujaan bagi sebagian orang dunia, meski tidak berarti semua orang tahu atau pernah mengunjunginya.

“Yes,” jawabnya. “We’ve been to several places there. It’s a beautiful place,” tambahnya.

“Have you been to Singaraja then?,” ujarku lagi. Aku juga selalu bertanya hal ini. “It’s in the northern part of Bali and I live there,”  tambahku. “It’s fairly opposite to Kuta and most parts of tourism centres in Bali. If you like a quite and calm environment, it’s a worth to visit,” promosiku.

Roseline, bersama George, suaminya, tersenyum ramah. Mereka memang belum pernah ke Singaraja, namun mereka pernah mengunjungi suatu tempat ibadah di Denpasar yang juga memberi damai bagi mereka.

Aku kemudian bertemu Brian. Ia mengenalkan anaknya. Kami bermain Cluedo sebelumnya, jadi sangat menyenangkan bertemu kembali dengannya. Aku juga banyak berbincang-bincang dengan beberapa orang lain.

Lagu-lagu penuh rima kemudian dengan riang dan penuh makna dinyanyikan bersama. Aku menangkap pesan yang universal disini; kasih. Aku banyak melihat kata-kata indah berima teratur dalam bait-bait itu. Sesuatu yang masih belum fasih aku lakukan jika aku menulis puisi-puisiku. Dan tentunya kata-kata tersebut memiliki makna dalam yang baik.

Tertunduk aku kini altarMu
Dialog kasih ini kelak cerminku

“Nanti kamu ga usah donasi Her,” kata temanku. Aku anggukkan saja kepalaku. Aku mengerti, ia tidak mau membebaniku dan ikut dalam hal yang bisa jadi tidak selalu sesuai dengan apa yang aku pahami dan jalani. Aku tetap mengambil amplop yang disodorkan dan mengisinya dengan sedikit uang dan menaruhnya dalam kantong beludru merah yang dijalankan. Hal ini sama dengan punia dalam konsep yang aku jalani, dan punia ini idealnya, selalu bertujuan baik.

Cerita “Peter heals the crippled beggar” kemudian diperdengarkan. Bersama penggalan-penggalan cerita lain, cerita “Peter…” ini sangat filosofis. Cerita itu, dalam benakku, aku ejawantahkan begini, “(Se)seorang (guru) seyogyanya memberi kail, bukan ikan.” Sesuatu yang sudah sering didengungkan, namun belum sepenuhnya berhasil, menurut pandanganku.

Yang terdepan membuka hati
Refleksi peka tak akan mati

Paduan suara penuh makna kembali berkumandang. Aku nikmati benar. Aku berpelukan dengan sahabatku, sebagai tanda kegiatan ini berakhir.

Dengan bantuan GPS – sesuatu yang aku sering hindari karena aku lebih ingin melatih kemampuan mappingku (meski hasilnya adalah sering tersesat :)), mobil ini kemudian melaju ke daerah lain untuk merayakan ulang tahun putri kecil cantik sahabat bermain putriku ini. Dalam hujan, ia kembali tertidur. Setelah sampai, kamipun menurunkan beberapa bawaan, masakan lezat temanku. Bersama kawan-kawan kecilnya kemudian, putri sahabatku ini tersenyum gembira bermain dan ‘meniup’ lilin ulang tahunnya. Rumah yang hangat beserta kawan-kawan baru yang ramah membuat santapan yang sudah enak ini lebih nikmat.

“I love the fried chicken,” teman baruku, Zac, bilang. “I even love the chicken curry,” ujar Ford, temanku yang lain – yang ternyata menurut temanku yang memasaknya adalah balado.  “For me,” kataku, “I love all!” 🙂

Haripun beranjak sore. Tidak terasa, karena meski mendung dan hujan yang sesekali turun membuat langit selalu gelap, hati kami hangat. Kami, yang paling terakhir, kemudian pamit pulang. Ketika keluar rumah, udara dingin langsung menyeruak, menyusup ke tulang sumsum kami. Untunglah, penghangat di mobil temanku masih bekerja dengan baik.

Di lampu merah, dalam perjalanan pulang, hal unik terjadi. Seseorang tampak sibuk mendatangi tiap mobil dan menawarkan diri untuk membersihkan kaca depan tiap mobil. Tentu dengan imbalan yang pantas. Hal ini, meski aku pernah lihat sebelumnya, menjadi pemandangan unik, karena tidak lazim ada atau dilakukan jika dibanding dengan tempat asal kami. Karena, berbeda dengan volunteer yang meminta sumbangan, status pembersih kaca ini tidak resmi. Tentu sangat beresiko baginya jika diketahui oleh pihak berwenang.

Tiba saatnya ia menuju mobil kami. Temanku mengangkat tangannya bermaksud menolak tawaran orang tersebut. Namun, tampaknya terjadi kesalahpahaman – yang aku pikir sebagai bentuk dari pemahaman berbeda akan gesture, khususnya gesture yang digunakan temanku sebelumnya.

“Yey!,” soraknya. “Wah, kok dia langsung happy ya,” kata temanku. “Loh, kok dia bersihin kaca,” ujar istri temanku lagi.

Si penawar jasa rupanya mengira temanku mengiyakan tawarannya. Aku ingat mata kuliah Cross Cultural Understanding yang aku ambil beberapa tahun lalu, dan gesture memang sering menjadi sumber hal unik, bahkan kesalahpahaman. Misalnya, menggeleng bermakna persetujuan bagi orang-orang dari atau di India.

Namun, atas dasar punia diatas tadi, kami memberinya imbalan yang sewajarnya. Tentu, kami juga senang karena kaca mobil menjadi lebih bersih di kala hujan seperti ini.

Hari sudah bertambah gelap, ketika kami memutuskan untuk ke tempat cukur sekalian mencari sesuatu di toko outdoor. Dibawah hujan deras dan sore yang bertambah dingin, kami berjalan beriringan dan berbincang. Sayang toko outdoor yang kami cari sudah tutup. Kami kemudian kembali ke tempat cukur disaat tempat tersebut akan tutup. Dengan cepat para pemotong rambut itu membereskan pekerjaannya. Meski tempat ini paling murah sesuai dengan kantong kami, hasilnya tidak jelek-jelek amat. Artinya, kamipun tidak terlalu peduli, jika hasilnya tidak sesuai selera.

“Disesuaikan dengan wajah,” kataku setengah bercanda kepada temanku.

Sisi

“We should be a balm giver rather than an arm giver.” Kalimat itu akan terus terngiang di telinga, merasuk hati, selalu.

3 thoughts on “Kue Tart yang Bukan Aku Pesan

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s