
Saya tersenyum geli ketika salah seorang teman lama saya bercerita tentang saya di hadapan beberapa kolega baru. Ini gegaranya bercerita mengenai kegiatan sehari-hari saya. Banyak yang sering saya amati cukup tau aktivitas orang lain karena memang terpapar di media sosial entah itu secara updated atau ga. Ada yang sering mengamati bahkan cukup kepo hehe. Saya termasuk reguler membagikan aktivitas saya melalui media yang ada. Penting dicatat, ini minus hal-hal personal. Paling tidak minim sekali. Dari sekian banyak masukan, saya kemudian bisa menilai beberapa motif yang ada dalam interaksi di berbagai media ini. Apapun itu, saya selalu berpikiran bahwa itu untuk sharing, bukan untuk yang lain. Nah, belajar motif ini selalu menarik. Kawan bisa membaca kembali Theory of Needs, misalnya, dari Maslow.
Saat itu, saya sedang melakukan telaah tentang mutu sebuah institusi. Jujur saja, dari apa yang saya baca, lakukan, dan alami, mengurusi mutu ini menarik. Kita semua ternyata ingin mutu terbaik, meningkat, dan seterusnya, namun tak jarang kita khawatir dengan upaya kita untuk mencapai mutu yang diinginkan. Dalam pengamatan saya, banyak yang ingin bagus namun tak ingin melakukan upaya terbaik sesuai dengan yang ditulis jelas di kriteria harapan. Kadang, ada beberapa upaya saya perhatikan untuk melakukan shortcut. Pretty typical.
Kalau saya merunut ke belakang, dengan melakukan telaah peningkatan mutu ini, saya sangat paham kemudian mengenai ‘dapur’ sebuah lembaga. Sangat terang benderang. Kemudian, saya sering bangun semua informasi yang saya peroleh dan rangkai. Dalam waktu-waktu tertentu, hal-hal lain terkait muncul. Biasanya menambah terangnya sebuah sikon. Dalam bahasa pelukis, memberi aksen lebih kuat. Ditambah dengan pengalaman mengelola sebuah departemen sebelumnya, semua hala-hal mengenai manajemen, pola pikir, perspektif, mindset, cara-cara mulai yang bersih sampai kotor terlihat jelas hehe… Cukup dengan diam saja sudah bisa jelas.
Anyway, kembali ke cerita kawan saya ini, ia sempat khawatir sebelumnya kalau saya tidak datang hari itu karena ia tau saya berada di luar Bali sebelumnya. Saat itu, saya sedang mengikuti pembentukan sebuah wadah penelitian se-Indonesia. Bersama kawan lama dan baru. Pembentukan wadah ini modusnya mirip kemudian, jika saya amati, dengan yang akan saya dan teman-teman di bidang yang lain lakukan. Poin cerita teman saya ini adalah, cukup sering ia lihat saya bisa berada ‘dimana-mana’ dalam waktu singkat. Sepertinya padat sekali. Jujur, ia benar. Agenda-agenda saya cukup padat. Saya bersyukur, fokus itu ternyata memberi keuntungan, misal selain hasil, ya less drama haha. Bang Haji saja bilang, terlalu! 😀
Sebenarnya sekali sih tidak selalu saya ada dimana-mana itu tadi. Hanya kebetulan saja. Hanya ketika memang sedang ada kegiatan. Menilik perjalanan-perjalanan sebelumnya, baik di dalam negeri maupun luar negeri, saya termasuk nekat untuk mencoba berani ke jalanan. Istilah saya demikian untuk sikon ‘dunia nyata’ yang tak banyak wacana haha. Sehingga saat ini dengan semakin fokus, banyak perjalanan terjadi, dan semua itu seperti singgah sekejap, seperti burung, hinggap dengan cepat dan berpindah pula dengan cepat. Karenanya, masa-masa menyusuri jalan raya, bandara, terminal ke terminal, daerah satu ke yang lain, bahkan negara satu ke negara lain sepertinya penambah mozaik-mozaik petualangan yang menarik, sekaligus menantang. Meski berpindah dengan cepat, ia tidak mengesankan sebuah hal sepele. Meski sepertinya pindah satu kota ke kota lain, negara ke negara lain, pesawat ke pesawat lain, atau bandara ke bandara lain, itu biasa, sebenarnya menurut saya tidaklah demikian. Semuanya membentuk potongan-potongan kisah yang tak bisa dilupakan. Tak bisa dilewatkan. Saya jujur akui, sejak kembali ke Indonesia, kesulitan menulis. Ada banyak faktor, salah satunya kesibukan yang jauh pesat meningkat. Namun, saya berusaha terus komit untuk menuangkan kisah-kisah dalam tulisan. Ya, sederhananya agar momentum-momentum tersebut abadi. Memang ini bukanlah sebuah novel namun hanya proses reflektif saja.
Saking dilihat orang sedemikian sibuknya (padatnya kegiatan), teman saya berkelakar, kalau mau cari saya, cara yang paling gampang justru adalah menunggu saya di gerbang Angkasa Pura (merujuk bandara Ngurah Rai, Bali). Saya tertawa. Tidak sepenuhnya benar. Karena memang saya tidak mau mencampurkan urusan-urusan demikian. Maksud saya, misal analoginya, jika ada mahasiswa mau bimbingan atau setor tugas atau skripsi, tidak ke rumah. Karena itu ranah personal. Meski demikian, saya jadi tersenyum geli. Ahh ada-ada saja. Memang ada benarnya, gerbang Angkasa Pura sudah sedemikian akrabnya. Padahal saya hanyalah seorang pengamen jalanan.
Denpasar, 23 Oktober 2016.
Untuk tulip dan bumi. Terima kasih sudah menemani hari spesial kesekian ini.
@mhsantosa
Circle me @ +Made Hery Santosa
©mhsantosa (2016)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.
menginspirasi, saya tunggu di gerbang angkasa pura kak
Makasi Kak Heka. Siap, mari siap2. Nanti kita bertemu ya 🙂