Untuk Margaret

With Margaret
With Margaret

Are you Cambodian?,” tiba-tiba seorang bule bertanya kepada saya.

Saat itu kami sedang duduk bersebelahan menunggu sleepers bus yang akan membawa kami menuju Angkor Wat, dari Phnom Penh.

Oh hi… ahh, unfortunately no,” saya menoleh sambil tersenyum.

Hari sudah malam, bus dijadwalkan akan berangkat pukul 10 malam waktu setempat. Perjalanan ke Angkor Wat ini sedikit nekat bagi saya. Setelah selesai melakukan presentasi di CamTESOL International Conference, saya hanya punya waktu dua hari lagi. Teman baru saya, Chelsea – orang Amerika – dan Yuliya – orang Rusia – yang semuanya mengajar di Soka University di Jepang ternyata sudah merencanakan perjalanan mereka ke Siem Riep saat mereka masih di Jepang. Hal ini karena Chelsea ternyata sudah pernah ke Phnom Penh sebelumnya dan sudah bisa berencana.

Setelah bertanya-tanya, saya melihat kemungkinan melihat salah satu kemegahan dunia di Angkor Wat dan sekitarnya ini hanya bisa dilakukan malam dan esok harinya. Sangat padat. Namun dengan gerak cepat saya bisa memesan bus dan kemudian bisa kembali esok sorenya untuk siap-siap terbang ke Bali sambil transit di Kuala Lumpur dulu.

Kembali ke pertemuan saya dengan bule tadi. Ini sudah sekian kali orang mengira saya orang Kamboja, sejak menginjakkan kaki di Phnom Penh International Airport. Wajar, muka saya muka melayu, Asia banget. Dan ini terjadi di beberapa tempat yang saya pernah kunjungi sebelumnya.

Saya kemudian melanjutkan berbicara dengan bule tadi. Saya lihat ia membawa tas carrier besar, ciri backpacker. Disampingnya, ada seorang wanita. Mungkin teman pasangannya atau istrinya. Ia membaca. Insting saya mengatakan bahwa mereka tidak hanya sekedar pelancong. Wisata di Phnom Penh ini akan eksotis memang karena banyak peninggalan sejarah. Istana-istana dan kuil-kuil beraliran Budha banyak bertebaran. Seperti saya sampaikan tadi, saya sedikit nekat. Kegiatan presentasi saya sebelumnya sudah selesai dan sekarang saatnya menikmati apa yang negara ini bisa tawarkan.

Phnom Penh mengingatkan saya akan perjalanan sebelumnya ke Ho Chi Minh city. Terletak di bagian selatan Vietnam, kota ini menawarkan eksotisme Asia Tenggara. Hal ini sama juga dengan perjalanan ke Bangkok, Thailand sebelumnya. Karena saya berasal dari Indonesia yang notabene terletak di wilayah regional sama, saya dengan cepat bisa melihat berbagai persamaan di negara-negara ini.

Saya kembali diingatkan kalau saya sedang berbicara dengan bule ini. Namanya Paul. Disampingnya ternyata istri Paul, bernama Mary. Ia sedang kembali ke sebuah pedalaman di dekat Angkor karena ia sudah tinggal sejak 2 tahun di tempat tersebut. Katanya, ia sedang meneliti. Saya semakin tertarik.

Konteks masyarakat Kamboja unik menurutnya. Ada berbagai komponen menarik dan penting yang membentuknya. Salah satunya adalah pengaruh budaya dan agama Budha. Yang lain akibat perang. Paul dan Mary ternyata tipe peneliti konteks sosial kualitatif atau lebih tepatnya antropolog. Memang susah menilai antropolog. Paling tidak itu yang saya rasakan. Karakteristik penelitian yang menuntut peneliti membaur dengan konteks yang ditelitinya – dalam hal ini aspek sosial dan budaya – membuat si peneliti menjadikan dirinya larut dan lebur dalam konteks itu. Ini untuk memudahkan mereka, tentu saja.

Cukup lama saya berbincang, sampai akhirnya kondektur bus memanggil kami semua untuk memulai perjalanan menuju Siem Riep. Didalamnya, sudah ada tempat tidur sehingga perjalanan kami menembus malam tidak akan terlalu melelahkan.

Saya tertegun. Ternyata, para peneliti ini memang biasanya all out. Mereka berani jelajahi dunia. Mereka berani berpetualang ke tempat-tempat yang masih asing hanya untuk menggali lebih dalam hal-hal baru dalam dunia mereka. Saya jadi teringat pesan dari Margaret, pembimbing saya sekaligus yang saya anggap sebagai Ibu saya. Beliau seorang Head of Researcher di Fakultasnya dan saya belajar banyak. Beliau tegas dan konsisten, namun penuh wisdom. Ilmunya dalam, dan yang saya sangat hormati dari beliau adalah semangatnya meneliti. Setiap tahun, ada saja satu buku baru yang ia terbitkan. Artikel jangan ditanya lagi. Setiap tahun, ia juga menjadi pembicara kunci di konferensi level internasional di berbagai penjuru dunia.

Saya ingat, ia baru kembali dari Amerika menjadi pembicara kunci. Ia menunjukkan kepada saya dan teman-teman mahasiswa bimbingannya foto-foto air terjun Niagara dan pelangi yang selalu muncul karena bias air yang terkena matahari. Indah dan memotivasi. Ia sudah cukup berumur, namun saya melihat semangatnya muda. Ia memang tak banyak bicara namun lebih banyak berkarya. Saya rindu beliau. Rindu akan ajaran-ajarannya, nasehat-nasehatnya, ‘kemarahannya’ ketika saya tidak mampu menulis baik pada suatu pagi, atau rasa senangnya ketika kami bisa mempublikasi buku bersama. Terima kasih Margaret atas semuanya.

Singaraja, 23 Oktober 2015.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s