Rasa Sinematik Luca

rhapsodyprom2015cd1_0

Album yang ditunggu-tunggu telah diluncurkan. Luca Turilli’s Rhapsody baru saja mengeluarkan album baru berjudul: Promotheus, Symphonia Ignis Divinus (Promotheus, Symphony of the Divine Fire). Album ini merupakan album kedua setelah Ascending to Infinity dari band ini. Tahun 2011, Luca Turilli (gitar) memutuskan keluar dari band Rhapsody of Fire yang ia dirikan bersama Alex Staropoly (keyboard). Perpisahan ini bersifat mutual dan baik-baik. Alex Staropoly bersama Fabio Lione (vokal) melanjutkan Rhapsody. Alex Holzwarth (drum) bermain di dua band Rhapsody ini namun memutuskan fokus pada RoF karena tidak mungkin ia aktif di keduanya. Alex Hozwarth kemudian menggandeng saudaranya Oliver Holzwarth (bass). Tom Hess (gitar) yang menurut pandangan saya, awalnya dipersiapkan mengganti Luca, berduet Roby de Micheli (gitar). Namun Hess memutuskan keluar kemudian karena merasa tidak cocok. Dalam pandangan saya, Hess cukup hebat bermain namun ia tanpaknya perlu waktu dan ‘beban’ mengganti Luca sebagai ikon RoF tampaknya tidak mudah. Oliver terakhir memutuskan keluar juga dan digantikan oleh Alessandro Sala (sampai saat ini saya belum menemukan apa alasannya keluar dan digantikan). Oliver menurut saya bermain bagus, terbukti ia membetot bagian bass dengan Blind Guardian (live), Power Quest, Tarja Turunen (sebelumnya vokalis Nightwish) dan band Sieges Even yang ia dirikan dengan saudaranya Alex Holzwarth.

Luca kemudian mendirikan Luca Turilli’s Rhapsody (atau LT’s Rhasody atau Rhapsody). Awalnya banyak perdebatan, tapi sisi positifnya adalah pendengar punya dua Rhapsody sekarang! Ketika Luca mengeluarkan album pertama LT’s Rhapsody “Ascending to Infinity” (disebut sebagai album ke 12 RoF), saya merasa terbawa nuansa sinematik kuat kali ini. Sudah bukan rahasia, Luca mulai mengarahkan karya-karyanya ke arah ini. Bahkan sejak album pertamanya bersama RoF – Land of Immortals. Banyak ide berasal dari film-film bertema naga, ksatria, puteri raja atau pangeran ksatria yang menumpas kebatilan. Fanstasi dan jaman medieval sering dipilih pada awal karirnya, meski kemudian di band terbarunya, Luca mengarahkan idenya bahkan ke dimensi kosmos berbeda. Ide kosmos ini sudah Luca terapkan sebelumnya di trilogi album solonya – King of Nordic Twilight (1999), Prophet of the Last Eclipse (2002) dan The Infinite Wonders of Creation (2006). Tampaknya Luca memang tipe musisi yang suka bereksperimen. Ini terbukti di band solo lainnya yang ia bentuk, Dreamquest, dimana ia memilih posisi keyboard dan menyerahkan posisi gitar ke sahabatnya sejak lama, Dominique Leurquin (ia ajak sejak di Rof dan sekarang di LT’s Rhapsody). Ia mengeluarkan album Lost Horizons (2006) dan cukup OK menurut saya.

Baru dua mingguan saya mendapatkan album baru ini. Sejak mendengar single pertama mereka berjudul Rosenkreuz (The Rose and The Cross) di YouTube, saya langsung tertarik. Meski rasanya suara keyboardnya terlalu dominan. Memang, setelah saya dengan keseluruhan album, suara gitar Luca seperti ditekan dan suara keys Luca (kebetulan ia bermain di kedua alat ini, kecuali live dimainkan oleh Mikko Harkin). Sepertinya Luca ingin mengesankan rasa sinematik dengan lebih kuat. Album ini dibantu oleh dua paduan suara yang memberi efek sinematik kuat, Dan Lucas (Karo), David Readman (Pink Cream 69) dan Ralf Scheepers (Primal Fear). Saya khususnya mengenal karakter suara Ralf (ia dulu di Gamma Ray, bentukan Kai Hansen yang mempopulerkan Helloween dan Power Metal khas Jerman sejak dua decade lalu). Ralf berduet di lagu Thundersteel, sebuah lagu dari band Riot, namun diaransemen sinematik.

Kembali ke album Promotheus, rasa sinematik kuat sudah dimulai pada lagu pembuka, Nova Genesis. Paduan suara sudah membuka ‘pertunjukan’ sinematik kali ini. Lagu Il Cigni Nero kemudian menghentak. Dentingan keyboard, double bass drum diiringi keyboard dan paduan suara langsung memberi nuansa sinematik. Kemudian vokal tinggi Alessandro Conti (dari band Trick or Treat – yang awalnya mengkover lagu-lagu Helloween) masuk. Berderap-derap dengan gitar, keyboard, double bass drum dan bass. Saya kenal suara Conti ketika ia berduet dengan Michael Kiske (Kiske adalah wajib bagi penggemar Power/Symphonic) di album Tin Soldiers, menyanyikan “Tears against Your Smile” atau berduet dengan Michelle Luppi (sebelumnya vokalis Vision Divine, menyanyikan “Take Your Chances” – menggantikan Fabio Lione yang sibuk di RoF, sebelum keluar dan digantikan kembali oleh Lione).

Lagu Rosenkreuz yang menjadi single mereka memberikan celah pendengar berdecak dan kagum akan komposisi Luca akan lagu-lagu. Anahata juga demikian. Lagu Il Tempo Degli Dei cukup menurunkan tempo sedikit namun tetap asyik didengarkan. Lagu One Ring to Rule Them All cukup memberi celah kerinduan pendengar terhadap gitar. Melodinya cukup menarik ditambah paduan suara dan suara Conti yang melengking tinggi. Agak sedikit ‘dark’ menurut saya, ditambah keyboard yang main di nada rendah. Lagu selanjutnya, Notturno, bertempo lebih pelan, dengan dentingan keyboard dan soprano Emilie Ragni yang berduet dengan Conti. Baru saja, mereka mengumumkan bahwa Soprano Emilie Ragni akan bergabung di tur sinematik Promotheus setelah ini.

Rosenkreuz (The Rose and The Cross)

Lagu Promotheus kembali menghentak telinga pendengar. Derap-derap double pedal drum, bass, gitar dan keyboard kompleks diiringi paduan suara. Kita dibawa ke kosmos semesta sambil meresapi nuansa sinematik. Awalnya saya kurang bisa memahami lagu ini, seperti banyak komentator bilang, lagu ini seperti melontarkan berbagi kosakata tentang semesta secara acak agar terkesan kosmik namun lama-lama, terasa bahwa lagu ini dark namun penuh fantasi dan melodik. Makna, ah saat ini saya ingin menikmatinya saja.

Promotheus

Lagu King Solomon and 72 Names of God cukup kompleks menurut saya. Namun saya dibuat bergoyang ketika diakhir-akhir lagu dengan lengkingan panjang Conti dengan paduan suara diiringi derap double bass drum Alex Landenburg (yang, meski masuk menggantikan Alex Holzwarth, namun inilah kali pertama ia berperan dalam studio album band ini). Ditambah dengan melodi di lagu selanjutnya, yaitu Yggdrasil (dibaca Igdrasil – berarti pohon besar dalam mitologi Nordic yang menyatukan bumi, surga dan neraka), imaginasi Luca sebagai seorang komposer tak henti membuat saya takjub. Lagu penutup mereka yang berjudul “Of Michael The Archangel and Lucifer’s Fall Part II: Codex Nemesis” sangat panjang, berdurasi 18:04 menit. Ini selalu menjadi ciri Luca sejak di Rhapsody of Fire. Terdiri dari 5 bagian lagu berjudul (Codex Nemesis Alpha Omega, Symphonia Ignis Divinus atau The Quantum Gate Revealed, The Astral Convergence, The Divine Fire of the Archangel, dan Of Psyche and Archetypes.

Bonus track mereka adalah “Thundersteel” cover lagu dari band Riot. Di lagu ini, Conti berduet dengan Ralf Scheepers (sebelumnya di Gamma Ray, sekarang Primal Fear). Ketika saya mendengarkan lagu ini, hard rock/metal terasa namun liukan keyboard kompleks membuat rasa sinematiknya kental sekali. Ini seperti mendengarkan lagu-lagu Guardians, I’m Alive, March of Time, Eagle Fly Free (Helloween), Power of Thy Sword (Manowar), atau Flash of the Blade (Iron Maiden). Keyboard dengan orchestra kompleks dan tingkat tinggi (bayangkan band Fairyland, terutama album pertama mereka “Of Wars in Osyrhia”). Sangat manis sebagai ‘bonus’ sebuah album.

Secara umum, ada elemen dark dan light dalam album ini. Bagi saya, ini seperti gabungan album solo Luca sebelumnya – Prophet of the Last Eclipse dan Infinite Wonders of Creation. Sinematik, operatik, simfonik. Apapun namanya. Meski keyboard lebih dominan di album ini dibanding album Ascending to Infinity (2012), secara keseluruhan, album Promotheus ini menunjukkan kualitas seorang musisi yang berani bereksperimen bahkan jauh dari ekspektasi banyak orang dengan ide-ide brilian dan penggabungan elemen-elemen musik – mulai klasik, sinema sampai metal. Jujur saja, kalau dibanding dengan album “Dark Wings of Steel” milik band awal Luca – Rhapsody of Fire (Staropoly dan Lione cs), saya memberikan nilai kualitas lebih baik pada karya Luca kali ini. Semoga kreatifitas Luca bisa kita dengarkan sampai puluhan tahun lagi. Saya belajar bahwa kita juga harus berani mencari tujuan baru dengan ide segar dan eksperimen tanpa batas agar hidup lebih semangat!

@mhsantosa

Circle me @ +Made Hery Santosa

©mhsantosa (2015)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s