Heeram, salah seorang mahasiswa saya yang juga merupakan calon PhD tampak begitu emosional. Ia dengan cepat mengambil buku-bukunya sambil berbicara cepat. Namun karena ia berbicara dalam bahasa Arab, saya tidak memahaminya. Ali dan Fauziah yang berada didekatnya, berusaha menenangkan Heeram.
Melihat Heeram yang sangat emosional, saya terkejut. Saat itu, saya sedang merapikan buku-buku dan bahan ajar untuk kelas kali ini. Dengan cepat saya mendatanginya sambil bertanya ada apa. Ia tetap berbicara dalam bahasa Arab. Temannya menjelaskan bahwa ia kesal karena tidak bisa membuka file untuk listening activity. Rupanya, setelah berpindah komputer beberapa kali, ia tetap tidak bisa mendengarkan listening activity yang diberikan.
Kelas ini adalah kelas CALL dimana mahasiswa harus belajar mandiri merespon semua aktifitas yang disiapkan tiap minggunya. Platform yang digunakan adalah MOODLE. Saya ingat ketika saya mengajar di Bali sebelumnya dan pertama kali memperkenalkan MOODLE sebagai platform online learning. Banyak mahasiswa dan bahkan kawan pengajar yang kebingungan. Saat itu, MOODLE belum banyak digunakan di kampus tempat saya mengajar. Sebagai sesuatu yang baru, tentu hal ini terjadi. Sosialisasi, kegiatan professional development (PD), membaca dan berlatih dari handout yang diberikan, tentu mutlak dilakukan. Jika tekun, perlahan-lahan ‘keasingan’ ini akan menjadi ‘keasyikan.’
Kembali ke Heeram. Pelan-pelan saya ajak ia berbicara. Ia sudah ingin menangis. Heeram adalah calon PhD di bidang Kimia. Ia berasal dari Irak, negara yang masih berjuang bangkit dari perang. Menangani situasi seperti ini di konteks profesionalisme tentu tidak bisa langsung menyalahkan pihak lain. Semua harus dihadapi dengan tenang, sabar dan bersifat problem-solving. Saya contohkan dari komputer mahasiswa yang lain bahwa memang ada yang berhasil, ada yang tidak. Dan masalah teknis ini pasti ada ketika berhadapan dengan pembelajaran online. Dan kalau masalah sudah tak teratasi, Benny dari IT Desk Help di sebelah ruangan akan selalu siap membantu.
Dengan sabar saya ajak ia untuk kembali log on ke komputernya. Kemudian, saya arahkan ke aktifitas selanjutnya; melewati bagian yang tidak bisa ia lakukan tadi. Saya coba aktifitas listening bagian kedua. Dan saya buktikan bahwa itu berjalan meski sebelumnya, ia berkata tidak. Mungkin ia sudah terlalu kesal karena harus berpindah-pindah komputer sebelumnya. Saya beruntung sempat mengajar Heeram di level sebelumnya, sehingga saya paham karakternya. Selain itu, saya pikir, sabar itu perlu.
©mhsantosa (2014)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.
One thought on “Heeram, Calon PhD dari Irak dan Latihan Kesabaran”