Sepasang mata bulat indah menyapa diri. Terbangunku dari mimpi. Sebagaimana orang Turki dan Timur Tengah pada umumnya, wajah gadis ini cantik dan sangat khas. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bibirnya ranum merah.
Seulas senyum menyapa tipis kabut pagi. Terasa hangat di dingin sepi. Ia kemudian berjalan mengitari jalan setapak di sekeliling danau. Tak bicara. Nafas hangat mengeluarkan asap memutih yang pudar kemudian.
Hampir beriringan, kami berjalan memutari danau. Di kejauhan, di tengah danau, sepasang angsa hitam asyik bercengkrama. Mengangguk satu sama lain. Di punggung salah satu angsa, bertengger dua bayinya yang masih berbulu abu-abu. Mencebur diri mereka kemudian, berenang. Sayap-sayap kecil berkecipak di air dingin musim gugur. Kaki-kaki munggil mendayung riang. Melaju.
Si gadis Turki kemudian memandangku. Matanya berbinar. Mulutnya seperti ingin mengucap sesuatu. Kutunggu. Namun tak sepatah kata keluar. Ia lalu berjalan mendekatiku. Menggenggam tanganku. Mata bulatnya bercahaya. Senyumnya hangat. Tak bicara, berjalan beriringan kami kini. Menggapai bintang.
Cinta kadang tak perlu bicara. Sebuah prosa untuk sahabat saya, Medo.
Edwardes Lake, 2010
©mhsantosa (2013)
I am happy to share this. Please feel free to reblog or share the link, all with my accreditation. Thank you.