
Sering saya berjumpa dengan kumpulan monyet di puncak bukit ini. Tiap perjalanan ke Denpasar atau sekedar bersantai ke Kebun Raya Bedugul, saya selalu melintasi monyet-monyet yang ramai menunggu para tamu bule atau lokal yang beristirahat sejenak untuk melepas penat. Sebelumnya, jalan panjang berkelak-kelok akan menjadi pemandangan selama setengah jam. Monyet-monyet ini tinggal di bukit bagian atas namun selalu turun ke dekat jalan raya karena mereka tahu akan banyaknya makanan yang bisa mereka dapatkan.
Kata orang-orang, monyet-monyet disini tidak senakal monyet di Sangeh, Alas Kedaton atau Pulaki yang suka mengambil barang-barang atau mengganggu pengunjung. Misalnya, baru-baru ini santer berita tentang Charmian Chen, mahasiswi Taiwan yang dipeloroti kembennya oleh monyet di kawasan Sangeh (untuk lebih lengkap, baca tautan ini). Namun, tidak salah rasanya untuk tetap berjaga-jaga. Pernah suatu ketika, saya melihat seorang gadis kecil dicolek tiba-tiba oleh seekor monyet di puncak bukit ini. Ia yang ditemani neneknya sedang asik memanggil-manggil sambil berusaha memberi makan seekor monyet di depannya. Tiba-tiba saja, monyet itu turun dan langsung menjamah kakinya. Ia kaget, seperti mau menangis, namun tidak. Tukang parkir di lokasi itu kemudian memanggil-manggil nama monyet itu (ternyata ia punya nama!) untuk tidak mengganggu mereka. Untunglah, gadis kecil tersebut urung menangis. Tampaknya, ia hanya kaget saja. Si monyet tetap asyik memakan buah rambutan yang diberikan kepadanya.
Di kesempatan lain, saya pernah bertemu dengan seekor monyet yang asyik duduk di pilar jembatan ini. Saya kemudian berusaha memberikan pisang, yang katanya makanan kesukaan monyet. Anehnya, monyet ini tampak tak acuh. Ia dengan setia duduk menatap saya sambil menggaruk-garuk kepalanya. Saya tetap menjulurkan tangan saya yang berisi pisang yang sekarang saya kupas sebagian kepadanya. Ia diam, sesekali menjengitkan alisnya dan memamerkan giginya. Sungguh aneh! Sayapun melemparkan pisang itu ke dekatnya. Siapa tahu ia mau mengambilnya. Namun, ia tetap bergeming. Menarik sekali! Saya memang tidak tahu kenapa. Apa monyet itu sudah kenyang atau tidak mau, atau bagaimana. Yang pasti, ia punya alasan. Saya kemudian mengambil kembali satu buah pisang yang lebih besar dan mengupas kemudian memotongnya. Akhirnya, monyet-monyet lain yang tampak lapar, atau yang kelihatan kalem dan alim sebelumnya, dengan serakah mengambil pisang yang saya lempar tadi.
Lain tingkah monyet, lain lagi tingkah manusia yang kata teori Darwin, merupakan bagian dari evolusi primata seperti monyet ini. Saya bertemu dengan Pak Nyoman di kebun di desa. Ia membantu bapak saya menanam beberapa pohon durian di beberapa bagian kosong di kebun kami. Saat pulang, kami memerlukan janur, disebut busung, untuk keperluan upacara Tumpek Wariga Sabtu kemarin. Juga sekitar dua pelepah daun kelapa, beberapa butir kelapa tua dan kelapa muda. Pak Nyoman kemudian dengan cekatan naik ke pohon kelapa setinggi kira-kira atap rumah tanpa lantai itu. Ia kemudian memotong janur yang ada di bagian paling inti daun kelapa. Bapak saya meminta Pak Nyoman untuk memotong dua pelepah daun yang sudah tua dan beberapa butir buah kelapa, untuk keperluan upacara juga. Tampaknya, janur yang dicari belumlah cukup, bapak saya kemudian meminta Pak Nyoman untuk naik ke pohon lain dan mencari janur lagi. Ia dengan cekatan kemudian naik ke salah satu pohon kelapa yang bersebelahan dengan pohon sebelumnya. Didapatnya kemudian beberapa helai janur baik untuk keperluan upacara kami.
Bapak saya kemudian memberi uang kepada Pak Nyoman ini. Jumlahnya jauh lebih sedikit dari gaji seorang PNS atau anggota DPR yang ‘wah’. Namun, Pak Nyoman ini menolaknya. Berkali-kali diberikan, tapi tetap saja ia menolaknya atas dasar bahwa ini hanya murni menolong. Sungguh berbeda dengan tingkah laku para monyet serakah tadi. Demikian juga dengan Pak Nyoman, ia tentu punya alasan.
Nice Sir….Thx so much..
You’re welcome. Best!